Oct 27, 2008

Membangun Perusahaan Keluarga
Sebuah Ringkasan Singkat



Membangun perusahaan dan menjalankannya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itulah mengapa jauh lebih banyak karyawan dibanding pengusaha. Jika Anda tipe orang yang ingin hidup tenang dan terhindar dari banyak tantangan, sebaiknya Anda tidak menjadi seorang pengusaha, tetapi bagaimana jika kehidupan yang memilih Anda untuk menjadi pengusaha?

Mendirikan atau membangun sebuah perusahaan membutuhkan energi dan pemikiran yang besar, terlebih untuk menjaganya unggul di pasaran. Berbeda dengan kondisi sebuah perusahaan yang sudah established secara profesional, perusahaan keluarga mengalami berbagai permasalahan berkaitan dengan sistem dan organisasi, mengingat sang pendiri harus memulainya dari awal dan mengimplementasikan bahkan ilmu yang terkadang tidak mereka kuasai.

Secara garis besar, menurut The Jakarta Consulting Group terdapat 4 fase yang dilalui sebuah perusahaan keluarga untuk mencapai titik stabilitas atau bisa dikatakan established. Mengingat hampir semua bisnis di dunia ini dimulai dari perusahaan keluarga, hampir dapat dipastikan semua perusahaan besar yang eksis di dunia ini telah mengalami fase-fase tersebut, sebut saja Sampoerna yang kini telah sukses menjadi besar.

A. Developing Phase
Fase perkembangan ini dimulai oleh para pendiri yang berkutat dengan produk dan konsumen pertama mereka, dalam tahap pengembangan ini, perusahaan berinteraksi dengan para stakeholders mereka, yaitu konsumen dan karyawan. Jika sebuah perusahaan dapat melalui fase ini dengan baik dan memiliki hubungan yang positif dengan para stakeholders, maka perusahaan dapat maju dan berkembang ke fase selanjutnya


B. Managing Phase
Dalam fase inilah, sebuah perusahaan keluarga mengalami begitu banyak konflik. Mengingat bahwa perusahaan bertumbuh semakin besar, jumlah konsumen dan karyawan yang bertambah banyak, menuntut berbagai hal meningkat, baik dalam hal skala maupun kompetensi.

Permasahalan yang kian muncul di fase ini antara lain :

1. Value conflict
Konflik nilai yang dimaksud adalah mulai terasanya gap antara hubungan profesional dalam perusahaan dengan hubungan kekeluargaan. Di mana nilai-nilai emosional dan logika mulai berbenturan dan menjadi penghambat berbagai langkah pengambilan keputusan ataupun sikap menghadapi permasalahan perusahaan.

Konflik nilai ini harus diselesaikan dengan baik antar anggota keluarga yang terlibat, yaitu dengan memahami peran masing-masing, dan memiliki keputusan posisi yang jelas, siapa mengerjakan apa. Sikap saling menghormati dan percaya, merupakan kunci profesionalisme dalam perusahaan dapat terbangun.

2. Succession
Konflik akan muncul pada saat adanya peralihan manajemen/kepemimpinan antar generasi, yang membutuhkan penyesuaian baik dari masing-masing figur yang terlibat maupun seluruh isi perusahaan, baik dalam hal sistem hingga budaya. Proses suksesi yang terencana, menjadikan masa peralihan mudah diterima dengan kesepakatan visi yang sama, sedangkan proses suksesi yang tidak terencana menjadikan kondisi tidak menentu (collapse), dan membutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk mendapatkan kembali kestabilan dan identitas perusahaan di tangan yang berbeda.

3. Management structure
Berbeda dengan perusahaan yang baru berdiri, perusahaan yang sudah berkembang membutuhkan pengorganisasian SDM dengan lebih tepat, setiap orang diharuskan memiliki posisinya masing-masing secara jelas, walaupun mereka adalah anggota keluarga. Dualisme kepemimpinan adalah hal yang sering terjadi dan menjadi ujung pangkal perpecahan. Terlalu banyak anggota keluarga yang mendominasi menunjukkan kekacauan struktur organisasi dalam perusahaan. Solusi dari permasalahan pengorganisasian perusahaan keluarga ini adalah adanya penetapan jabatan untuk setiap anggota keluarga, sesuai dengan kompetensi/ketertarikannya masing-masing pada unit bisnis/departemen dengan posisi strategis, sehingga masih menjadi media untuk berpendapat.

4. Compensation (kompensasi)
Salah satu isu yang juga kerap menimbulkan konflik perusahaan keluarga adalah mengenai kompensasi. Di kalangan karyawan non keluarga, kerap timbul wacana keadilan berkaitan dengan gaii yang diberikan, berkaitan dengan hubungan dengan keluarga pemilik. Sistemasi penggajian berdasarkan hirarki organisasi menjadi satu-satunya cara untuk menghindari konflik serupa, di mana ketetapan kompensasi ditentukan dari posisi dan prestasi yang dilakukan bukan jauh dekatnya hubungan kekerabatan.

5. Competency
Berhubungan dengan sumber daya manusia, kompetensi merupakan tolok ukur keberhasilan perusahaan. Perusahaan dengan sumber daya manusia yang kompeten memiliki persentase kemajuan yang lebih pesat dibandingkan yang tidak. Pengukuran kemampuan merupakan hal yang harus didisiplinkan sejak awal. Permasalahan yang kerap muncul antara lain adalah adanya anggota keluarga yang tidak kompeten menjalankan tugasnya. Konfliknya adalah ketidak-enakan anggota keluarga yang lain untuk menegur atau bahkan mencopot jabatannya. Bertajuk pada aturan no.1 perusahaan keluarga, yaitu mengedepankan profesionalisme untuk kepentingan perusahaan, maka sikap-sikap meng-anak emaskan anggota keluarga merupakan salah satu yang dapat menjatuhkan perusahaan, maka hal ini harus segera disikapi. Kondisi yang sama juga dapat muncul terhadap “orang-orang lama” yang mungkin bukan anggota keluarga, tetapi sudah “ikut” lama dengan pendiri, atau sebagai karyawan lama. Persaingan kompetensi dengan SDM yang baru menjadikan mereka cenderung kalah dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

Kedua konflik tersebut dapat diatasi dengan beberapa strategi di bawah ini :

pemindahan mereka ke unit bisnis baru/pengembangan bisnis baru,
Dalam perusahaan-perusahaan besar, terkadang unit-unit bisnis baru sengaja diciptakan sebagai “penampungan” orang-orang lama yang sudah tidak kompeten. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk tetap mempertahankan mereka, sebagai penghargaan loyalitas yang mereka berikan selama ini

pengangkatan jabatan semu
Jabatan-jabatan baru seringkali juga diciptakan untuk menampung orang-orang lama tersebut, hal ini sebagai bentuk penghargaan, sekaligus juga memanfaatkan mereka untuk tetap menjaga dan menularkan budaya positif perusahaan yang mereka telah anut lebih kental dibandingkan para karyawan baru. Posisi ini seperti contohnya pengawas departemen/dewan penasihat/dll

pengangkatan menjadi komisaris non aktif
Pengangkatan ini secara resmi menjadikan mereka non aktif dalam manajemen tetapi menciptakan beban baru bagi perusahaan. Hal ini perlu dipertimbangkan hanya bagi pihak-pihak yang sangat perlu dimaintain, jika tidak sebaiknya disolusikan dengan cara lain

6. Revenue Distribution
Pembagian hasil keuntungan pada perusahaan keluarga yang sudah berkembang menjadi wacana yang harus disepakati bersama. Berkaitan dengan hal ini, jika sebelumnya keuntungan perusahaan dapat dibagi hingga keseluruhan, tetapi dalam fase pertumbuhan, perusahaan membutuhkan dana untuk pengembangan. Maka dibutuhkan kesepakatan bersama berkaitan dengan persentase keuntungan yang dibagi ke anggota keluarga dan persentase yang dikembalikan ke perusahaan sebagai modal ekspansi yang lebih besar.

7. Alignment
Wacana yang terakhir dan menjadi dasar penyelesaian seluruh konflik adalah adanya penyelarasan antara nilai-nilai/keinginan dalam keluarga dengan business requirement, sehingga menciptakan proses yang mendukung ke arah perkembangan perusahaan.


C. Transformation Phase
Di tahap ini, perusahaan keluarga mengalami proses perubahan menjadi sebuah organisasi profesional dengan segenap sistem dan budaya yang mendukung. Dalam tahap ini perusahaan melalui berbagai perubahan yang signifikan, di mana perusahaan bertransformasi menjadi lebih besar.

Syarat melewati fase ini adalah dengan memiliki :

Career Development and Path Planning
Sistem pengembangan karir yang riil bagi para karyawan.

New Roles of The Family
Posisi yang lebih jelas dan profesional antar anggota keluarga yang terlibat dalam manajemen.

Monitoring and Controlling System
Kontrol terhadap aktivitas perusahaan yang lebih ketat dan evaluasi terhadap kegagalan-kegagalan yang terjadi.

Organization Development
Pengembangan struktur organisasi untuk mendukung proses bisnis yang lebih kompleks.

Company and Personal Assets
Memisahkan dengan lebih jelas asset perusahaan dan masing-masing anggota keluarga.


D. Sustaining Phase
Jika ke-3 fase sebelumnya telah terlalui dengan baik, maka pertumbuhan skala bisnis dan pemasukan akan terasa pada fase ini. Pada fase ini seluruh sistem, pengelolaan, prosedur serta kebijakan telah tertata dan terimplementasi dengan baik. Berbagai inovasi dapat dijalankan dengan lebih terarah dan fokus, tanpa memikirkan kembali konflik internal di tahap-tahap sebelumnya. Misi utama dalam fase ini adalah mempertahankan dan meningkatkan kinerja perusahaan dan melakukan berbagai inovasi yang berarti untuk meraih posisi pemimpin pasar. Di tahap ini lah paling ideal, sebuah perusahaan melakukan replika dan ekpansi ke berbagai lokasi/kota/negara lain.

Berkaitan dengan guidelines pembangunan perusahaan di atas, dapat disimpulkan dasar dari pengembangan perusahaan keluarga adalah berfokus pada implementasi sistem dan SDM yang profesional, menuju transformasi perusahaan yang lebih stabil.

Meluncurkan Produk Baru
No Time to Failure!


Beberapa hari yang lalu saya sempat berbincang dengan seorang rekan kerja sambil menunggu hujan reda. Karena hobi kami adalah makan, maka topic obrolan pun tidak jauh-jauh dari seputar makanan. Iseng-iseng, saya mencoba melemparkan issue mengenai makanan masa kecil. Benak kami pun melayang berusaha mengingat makanan-makanan apa yang sewaktu kami kecil menjadi favorite namun sekarang ini sudah tidak kami konsumsi lagi. Entah itu karena memang sudah tidak sesuai (sadar umur!  ), atau karena produk tersebut sudah tidak ada lagi. Kami masih ingat regenerasi makanan yang kami makan dulu. Kami masih bisa merasakan keantusiasan kami saat pertama kali produk x makanan berenergi katakanlah diluncurkan. Produk baru tersebut cukup menarik hati kami yang sebagai anak dari orang tua yang dua-duanya bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan sarapan pagi kami. Saat itu kemunculan produk x seperti menjadi ‘dewa penolong’ bagi kami.

Obrolan pun merembet ke produk-produk baru yang cukup banyak bermunculan saat kami remaja. Sebutlah Nasiku. Kami bertanya, kemana ya produk tersebut? Masih ada tidak ya? Sepertinya tidak. Aneh, padahal kan kalau kita lihat antara produk x dan Nasiku sama-sama produk baru. Kok sekarang menghilang? Coba ingat lagi beberapa produk baru yang coba dikeluarkan oleh beberapa perusahaan. Banyak ya! Tapi apakah semuanya bisa bertahan dengan baik hingga sekarang? Nah kalaui itu sih jawabannya tidak banyak. Kenapa? Saya sih merasa ada beberapa kesalahan yang memang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mencoba untuk meluncurkan produk baru. Diantaranya yaitu :

1. They don’t need it
Siapa yang berani mengatakan kalau generasi sekarang itu tidak inovatif dan kreatif? Rasanya tidak ada ya! Kita tentu sangat menyadari bahwa generasi sekarang itu sangat kreatif dan inovatif. Saking kreatif dan inovatifnya, justru terkadang kita suka terheran-heran sendiri dengan penemuan mereka. Dalam dunia bisnis, inovasi dan kreativitas juga tumbuh secara kontinyu, bahkan terkadang terkesan dipaksakan. Akibatnya, ada beberapa produk baru yang diluncurkan malah tidak sesuai dengan kebutuhan target marketnya. Harus diingat setiap tim kreatif atau bagian R & D bahwa produk baru yang kita luncurkan sebaiknya berdasarkan apa yang memang dibutuhkan oleh target market. Jangan sampai kita sudah percaya diri dengan penemuan kita tapi ternyata saat diluncurkan tidak merebut perhatian target market sedikitpun. Namun kita memang terkadang bisa saja “menciptakan” kebutuhan tersebut. Contohnya Pocari Sweet, dulu orang sama sekali tidak merasa butuh minuman pengganti ion seperti itu. Dengan edukasi dan ‘doktrin’ yang terus menerus dan konsisten bahwa target market sebenarnya membutuhkan produk seperti itu, maka akhirnya target market jadi merasa bahwa itu juga memang kebutuhan bagi mereka. Contoh Pocari Sweet itu memang memerlukan konsep dan konsistensi yang tinggi dari pihak internal perusahaan.

2. Copy Cat Product
Rasa-rasanya jika kita lihat, sekarang ini banyak sekali brand-brand baru yang dibuat hanya karena melihat bahwa brand pioneer-nya tenyata berhasil meluncurkan produk baru. “Tuturut Munding” kalau kata orang sunda mah! Maksudnya ya suka ngikut-ngikutin orang. Kalau dari pengamatan saya, ada beberapa alasan mengapa perusahaan memutuskan untuk mengikuti perusahaan lain. Pertama, kabita (lagi-lagi ini istilah sunda), jika kita bahasa Indonesiakan artinya sama dengan tergiur. Saat produk baru mampu merebut perhatian pasar dan sukses diterima di target marketnya, dapat dipastikan banyak perusahaan melirik dan tergiur untuk mengikuti jejaknya. Kedua, tim internal yang kurang kreatif. Inovasi, baik itu dalam konteks untuk produk yang sudah diproduksi atau pun untuk produk yang sama sekali baru, memang memerlukan kreativitas dan eksplorasi lebih dari tim internal perusahaan.

Menjadi copy cat memang bukanlah hal yang salah (yah masalah malu atau tidak sih kembali ke masing-masing perusahaan saja kali ya?  ). Namun hal yang harus diperhatikan oleh copy cat-er (eh itu bukan ya istilah yang benar?) adalah apakah produk copy cat itu memiliki value yang lebih baik dari produk yang diikutinya? Resiko yang harus ditanggung oleh produk copy cat adalah selalu dibandingkan dengan produk dari brand pertama. Jika hanya sama-sama saja apalagi lebih buruk sih ya jangan harap mendapatkan kesuksesan seperti brand pioneer ya!

3. Too Late
Nah untuk kasus yang satu ini, jangan dianggap bahwa perusahaan tersebut adalah copy cat-er. Ini hanyalah masalah timing. Sama seperti ibu kota, dunia bisnis juga amat sangat kejam. Terlambat dalam dunia bisnis berarti kehilangan banyak peluang besar yang mungkin bisa kita dapatkan. Bisa saja kita adalah perusahaan pertama yang menemukan inovasi atau kreasi terbaru untuk menciptakan sebuah produk baru dipasaran, namun saat kita hampir selesai merampungkan semuanya, tiba-tiba competitor kita lebih dulu meluncurkan produk yang baru akan kita luncurkan. Jangan salah, saking kerasnya persaingan, terkadang segala cara dilakukan. Memasang mata-mata ke dalam perusahaan competitor juga menjadi ‘legal’ dilakukan. Saya pernah mendapat berita dari teman-teman di lingkungan konsultan bahwa pernah suatu perusahaan besar yang menaungi brand shampoo yang terkenal di Indodesia hendak meluncurkan varian baru. Tanpa diduga, beberapa hari sebelum peluncuran tiba-tiba brand shampoo lain yang merupakan naungan perusahaan lain yang juga cukup besar lebih dulu meluncuurkan varian shampoo sama persis seperti yang hendak diluncurkannya. Kebetulan? Bukan! Menurut kabar yang beredar, perusahaan competitor tersebut sengaja memasukkan mata-mata ke dalam perusahaan lawan dengan menyamar sebagai cleaning service. Kejam? Yah memang itulah yang terjadi di dunia bisnis. Waspada merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Yang pasti, tidak ada waktu untuk terlambat!

4. Technics Failure
Produk baru yang diluncurkan boleh saja merupakan inovasi hebat yang tidak terbayangkan sebelumnya, menurut hasil penelitian produk baru tersebut memang dibutuhkan oleh masyarakat, promosion plan telah tersusun dengan sangat rapi, sudah amankah? Belum tentu! Kesalahan teknis yang terjadi bisa saja menghancurkan semua rencana yang telah dibuat jauh-jauh hari, mengacaukan bayangan akan kesuksesan sebuah launching product yang spectakuler. Untuk sebuah produk baru, kesempurnaan acara launching menjadi penentu juga dalam peninggalan kesan dalam benak target market. Jika saat launching ternyata terjadi kesalahan teknis yang cukup fatal dan mengganggu, hal tersebut bisa saja menimbulkan kesan buruk yang berakibat dalam proses penerimaan produk baru itu sendiri. Maka dari itu, tim promotion harus benar-benar memperhitungkan dan mempersiapkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hambatan dalam acara launching produk baru yang dikeluarkan perusahaan. Bagaimanapun juga, kesan pertama memang selalu membekas di hati. Patikan bahwa kesan yang tertinggal adalah kesan yang baik, bukan yang buruk.

5. Miss Price
Anda tahu mengapa dalam 9 elemen pemasaran, strategi yang di dalamnya terdapat segmenting, targeting dan positioning menjadi elemen awal yang harus ditentukan? Itu karena segala sesuatu yang ditentukan selanjutnya harus sesuai dengan segmenting, targeting dan positioning yang diinginkan oleh perusahaan. Termasuk dalam hal penetapan harga untuk produk baru kita. Yang banyak terjadi di industri bisnis kita adalah kesalahan saat menentukan harga yang akan diberikan untuk sebuah produk baru. Terkadang perusahaan menetapkan harga yang terlalu tinggi, padahal produknya tidak memiliki value setinggi itu, ditambah lagi target marketnya ternyata kalangan menengah bawah. Ingin mendapatkan kesan prestisius namun salah produk dan target, justru malah membuat produk tersebut tidak laku di pasaran. Begitupun sebaliknya, niat agar produknya laku dipasaran, perusahaan menetapkan harga murah, padahal produknya mempunyai value yang sangat tinggi dan target marketnya kalangan menengah atas. Kesan prestisius hilang, produk pun juga tidak laku. Kalu sudah begini, mengenal betul value dari produk dan karakteristik target market yang ditembak merupakan hal mutlak yang harus dilakukan sebelum menetapkan harga untuk produk baru kita.

Meluncurkan produk baru memang merupakan sebuah tantangan dan kenikmatan tersendiri bagi setiap perusahaan, apalagi perusahaan besar. Sebagai konsumen sih kita tentu senang-senang saja menunggu dan menerima produk-produk baru, apalgi jika memang sesuai dengan kebutuhan kita. Namun jangan sampai kasus-kasus yang terjadi di produk-produk baru yang sekarang menghilang terjadi di perusahaan anda. Selain merugikan secara financial, kredibilitas brand perusahaan yang menaungi juga tentu akan terpengaruhi. Yuk kita bilang, No time to failure!

Halo Pemilik Brand Besar
Waspadalah!




Berawal dari ke-bete-an saya karena terjebak macet di sepanjang jalan Cihampelas akhir pekan lalu, saya iseng melihat-lihat sekeliling dan menemukan sebuah lampu nama sebuah outlet “Parijs Van Java”. Hhmmm….pikiran saya langsung melayang pada sejarah nama tersebut. Setahu saya, julukan Parijs Van Java yang diberikan kepada Kota Bandung dulu sejarahnya berasal dari Jalan Braga yang ‘disulap’ oleh beberapa orang Belanda (saya lupa pastinya siapa) menjadi daerah yang mirip sekali dengan kota Paris jaman itu. Entah apakah mereka saat itu sudah dapat meramalkan situasi Bandung puluhan tahun selanjutnya atau tidak, namun coba lihat kota Bandung sekarang ini. Siapa yang tidak menempatkan kota ini sebagai salah satu kota tujuan wisata belanja fashion? Lihat puluhan atau bahkan ratusan factory outlet, distro, butik, clothing, dan sebagainya yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Bandung, kota tempat saya lahir dan besar telah tumbuh menjadi benar-benar Parijs Van Java (Kota Paris di Pulau Jawa). Kota yang menjadi ‘kiblat’ dalam trend fashion di Indonesia, kota yang menjadi surga belanja bagi siapa saja.

Dengan jiwa sok “analisis” saya, yah daripada bĂȘte juga diem-dieman lagi macet, saya mulai membuka wacana tersebut dengan teman saya yang sedang konsentrasi menyetir. Tiba-tiba teman saya berkomentar “Kamu sadar nggak, waktu kita kecil kan ada satu merek kaos yang booming banget, asli dari Bandung tapi udah menasional.”. Saya coba menebaknya, mengingatnya, namun tidak berhasil. Have no idea at all. Sampai dia menyebutkan sebuah brand yang membuat saya berteriak “OH ITUHH!!”. Hmmm…maaf jika tidak bisa saya sebutkan brand tersebut disini. Tapi saya jadi tertarik menganalisa perkembangan brand tersebut.

Dulu saat saya kecil, brand tersebut sangat booming. Anak gaul Bandung jangan ngaku anak gaul kalau tidak pakai (setidaknya punya) kaos yang brandnya diambil berdasarkan singkatan jalan dan no rumah tempat produksinya tersebut. Dulu, brand kaos itu (sebutlah kaos X) benar-benar menjadi “icon” kota Bandung, dan kami saat itu bangga juga memiliki brand tersebut. Tapi itu dulu! Sekarang? Tim saya di Creasion pernah melakukan riset mengenai brand tersebut, dan hasilnya sungguh sangat menyedihkan. Top Of Mind sudah pasti bukan kaos X tersebut. Brand Recall? Tidak ada juga dari sekian banyak brand yang disebutkan oleh responden. Bahkan asosiasi yang tercipta di benak konsumen justru sangat mengkhawatirkan. Kuno, menjadi isu utama yang terbentuk. Waduh, gawat juga tuh kalau mau tetap bertahan kan?.

Walah, kenapa ya brand sebesar itu bisa “tenggelam” sedemikian rupa sampai-sampai kita tidak mendengar gaungnya sama sekali? Jika kita ingat-ingat juga, ada beberapa brand produk local maupun nasional yang ‘menghilang’ sekarang ini. Padahal pada masanya, mereka cukup mempunyai nama dan merajai pasar di kategori produknya masing-masing. Saya sih menilai ada beberapa hal yang membuat perusahaan-perusahaan itu bisa ‘tenggelam’ :

1. Terlena
Kesuksesan memang melenakan. Menjadi brand besar di masa lalu membuat beberapa brand yang besar dan merebut pasar yang cukup besar menjadi merasa bahwa kesuksesan tersebut akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Bahwa roda akan selalu berputar mungkin tidak mereka ingat di saat jaya. Menikmati dan menjalankan yang ada tanpa waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa datang membuat proses pembaruan, peningkatan mutu, inovasi, dan sebagainya menjadi tidak dilakukan. Jangan pernah terlena! Itu kunci satu-satunya.

2. Over Percaya Diri
Nama besar dan kesuksesan juga bisa membuat sebuah perusahaan menjadi over percaya diri (PD). Merasa bahwa keberhasilan mereka saat itu adalah hasil dari kerja keras dan kepandaian mereka bisa menciptakan perasaan optimisme yang terlalau berlebihan. Optimis memang diperlukan dalam menjalankan sebuah bisnis, namun jika kita terlalu percaya diri tentu akan memberikan dampak yang kurang baik bagi kelangsungan perusahaan itu sendiri. Ini akan memperkecil peluang untuk mendengarkan oranglain dan kemungkinan kerjasama dengan pihak lain yang mungkin saja dapat memberikan masukan bagi perusahaan.

3. No Insight
Tahu kenapa kita harus mengedepankan riset sebagai media pencarian data dan fakta? Tahu mengapa konsumen menjadi responden utama dalam proses riset yang dilakukan perusahaan? Karena dengan riset kita bisa mengetahui banyak hal yang terjadi di lapangan yang bahkan tidak terduga oleh kita sekalipun. Karena konsumen adalah pihak yang menggunakan produk kita, pihak yang menentukan apakah produk kita cukup menarik bagi mereka untuk dibeli. Bagaimanapun juga, saat kita tidak mengetahui apa yang target market kita butuhkan, inginkan dan harapkan, saat itu juga kita harus siap kehilangan mereka. Konsumen saat ini lebih kompleks needs, wants, dan expectation-nya, tugas perusahaan untuk terus memantau dan memenuhinya. Nah bagaimana kita bisa mengetahuinya jika kita tidak pernah meriset mereka?

4. Unfocus
Pelebaran sayap, extention, atau apalah namanya, memang menjadi incaran para brand besar yang sudah sukses. Bukan sebuah strategi bisnis yang salah memang, namun akan jadi masalah jika perusahaaan ternyata belum terlalu siap. Ini malah akan menyebabkan perusahaan tidak focus sehingga arahnya tidak jelas. Membingungkan konsumen bisa menjadi efek yang dihasilkan oleh ketidakfokusan perusahaan dalam menghandle brand dan produknya. Jika konsuemn sudah bingung, maka mereka akan lari ke produk lain yang dianggap lebih focus dan jelas.

Nah, jika kita lihat sebenarnya sayang sekali kan jika factor-faktor tersebut justru malah meruntuhkan kejayaan perusahaan yang tadinya besar di pasar. Makanya…hai para pengusaha yang sedang di atas angina (yang tidak di atas angin juga), jangan pernah melakukan hal-hal di atas ya! Waspadalah! 

Shell
Iklan Tanpa Basa- Basi




Pernah lihat iklan Shell yang terbaru? Itu lho yang ada adegan mobil tengahnya dipotong dengan menggunakan gergaji berbentuk bulat? Penggambaran secara ekstrim ketika sebuah mobil dibelah dengan gergaji listrik besar untuk kemudian memperlihatkan kondisi dan tampilan mesinnya. Iklan dengan durasi kurang dari 2 menit tersebut menurut saya sangat singkat namun padat dan jelas. Intinya “Shell melindungi mesin anda dan membentuk lapisan yang membuat mesin lebih tahan lama dan memberikan performa lebih baik”. Dalam iklan tersebut juga yang diperlihatkan adalah mesin mobil bagian depan, dimana bagian tersebut benar-benar mengkilap dan terpelihara.

Menarik, karena Shell mampu memberikan ilustrasi dimana orang akan mudah mencernanya dan yang pasti to the point. Langsung pada intinya, tanpa banyak menggunakan dramatisasi berlebihan. Menurut saya masih banyak TV ads yang formatnya terlalu bertele-tele dan tidak langsung pada intinya. Kalau dihitung-hitung, satu iklan bisa menghabiskan waktu sekitar 30 detik sampei 1 menit dan bahkan lebih. Padahal biasanya sebagian besar audience tidak akan terlalu memperhatikan isi TV ads, apalagi kalau durasinya lama (berdasarkan pengalaman pribadi) dan iklannya tidak menarik. Belum lagi banyaknya channel yang bisa menjadi alternatif ketika beriklan. Nah, ini menjadi tugas bagi para pembuat iklan bagaimana caranya membuat iklan tersebut benar-benar bisa disukai dan ditonton oleh ke target mereka. Tentu saja diperlukan kreativitas dan ide yang unik.

Menurut buku “How To Advertise” karangan Keeneth Roman dan Jane Mass, semakin lama semakin sulit untuk membuat pemirsa televisi memperhatikan iklan komersial. Banyak pesan iklan yang diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pemirsa yang tidak bisa mengingat iklan biasa satu hari setelah mereka mengingatnya. Maka diperlukan suatu strategi untuk membuat iklan lebbih efektif dan tentu saja mendapat perhatian dari pemirsa televisi. Apa saja langkah-langkahnya? Mari kita bahas satu per satu .

Pertama . Gambar harus menceritakan kisah.
Televisi adalah media visual; iklan yang paling menarik dan mengingatkan membutuhkan beberapa kata atau tanpa kata sama sekali. Intinya bagaimana membuat iklan menjadi sebuah tampilan utama, yaitu satu struktur yang secara visual bisa merangkum keseluruhan ide. Shell sudah membuktikannya (IMHO), tanpa banyak mengumbar kata-kata, tapi langsung pada tujuan.

Kedua. Dapatkan Perhatian Pemirsa.
Lima sampai sepuluh detik pertama dari sebuah iklan merupakan saat penting karena menjadi penentu keberhasilan-iklan menangkap pemirsa atau tidak. Analisis perhatian pemirsa menunjukkan bahwa minat tidak berubah atau jatuh saat iklan dimulai dan tidak meningkat sama sekali. Buatlah pembukaan yang mengejutkan, bukan akhir yang mengejutkan. Adegan membelah mobil adalah suatu pembukaan yang mengejutkan, karena bagaimanapun pemirsa jarang disuguhi adegan ini, baik dalam film maupun iklan lain.

Ketiga. Berpikirlah Fokus.
Sebuah iklan yang bagus berpusat tajam pada satu ide, yaitu keuntungan utama konsumen. Hal ini cukup dengan mengkomunikasikan satu ide dan alasan memercayainya. Shell menyatakan bahwa jika menggunakan produk ini maka mesin mobil pemirsa akan lebih awet. Munculkan keuntungan yang akan didapat oleh konsumen, seperti : molekul pintarnya mengikat dan melekat di permukaan logam mesin anda, membentuk lapisan ekstra yang melindungi mesin saat pertama kali menggunakannya sampai seterusnya; mengurangi 70 % keausan dibandingkan oli biasa; secara signifikan mengurangi aus saat mesin dinyalakan dan periode pemansan; mesin tahan lebih lama dan memberikan performa yang lebih baik. Hal ini akan membentuk keyakinan pada konsumen untuk mempercayai produk Anda.

Keempat. Antisipasi ide untuk merek Anda.
Akhir-akhir ini sulit memiliki produk yang unik karena competitor bisa meniru teknologi dengan sangat cepat. Namun, jika Anda bisa memiliki ide, Anda bisa mengalahkan competitor dengan efektif, kecuali jika mereka ingin dilihat sebagai peniru. Pada umumnya iklan pelumas mesin lebih banyak menampilkan figure pembalap motor atau mobil sebagai brand ambassador bagi merek mereka. Namun Shell bisa bersaing tanpa memunculkan brand ambassadornya.

Kelima. Pastikan iklan Anda tetap “lekat”.
Ini tergantung pada bagaimana kita sebagai pengiklan mempunyai target dalam jangka waktu tertentu agar pemirsa dapat mengingat iklan dan merek kita. Daya ingat sangat penting terutama jika produk Anda bukan produk kebutuhan sehari-hari, seperti sabun atau pasta gigi. Kita bisa menampilkan objek yang benar-benar terhubung dengan iklan yang kita buat. Mobil dalam iklan Shell menunjukkan bahwa ia memang berhubungan dengan Shell. Apalagi yang ditampilkan adalah mobil yang terbelah dua, ini akan mambantu mengingat pemirsa terhadap Shell. Lain halnya jika yang ditampilkan adalah public figure, karena akan terbentuk banyak asosiasi. Bisa saja yang diingat bukan produk yang ditampilkan, tapi lebih kepada personal si public figure itu sendiri.

Keenam. Refleksikan kepribadian merek Anda.
Menjaga kepribadian merek membutuhkan dedikasi dan konsistensi. Ingatlah kepribadian merek sulit dimenangkan, tapi mudah dihancurkan. Dalam hal ini pembentukkan brand image harus diperkuat dengan positioning dari produk itu sendiri. Bagaimana produk Anda ingin diposisikan di benak konsumen. Shell membuat mesin lebih awet. Ini merupakan suatu janji kepada konsumen.

Ketujuh. Kurang itu lebih.
Jika Anda ingin menambahkan 10 kata dalam iklan, identifikasikan 10 kata yang akan Anda buang. Jangan mencoba untuk memasukkan semuanya dalam iklan. Anda akan mengubur pesan Anda sendiri. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, iklan yang bertele-tele dan berdurasi terlalu panjang membuat pemirsa bosan, sehingga inti dari iklan tersebut tidak akan didapat. Iklan menjadi tidak efektif dan efisien dan hanya akan menjadi proyek yang wasting time and money karena tidak memberikan feedback yang jelas.

Paling tidak ketujuh hal diatas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat iklan, untuk membuat iklan yang efektif. Yang paling utama adalah jangan pernah bosan untuk mencari ide besar.

Oct 19, 2008

Laskar Pelangi
Cerita, Publisitas dan Kesuksesan


Entah ada apa dengan film laskar Pelangi sampai saya harus menonton film ini dua kali dalam 3 hari, namun buat saya hanya ada kata luar biasa dengan beberapa makna yang meliputi benak saya setelah menontonnya.

Luar biasa pertama, Saya melihat persis masa kecil hidup saya dalam cerita laskar Pelangi ini, kehidupan yang kampung yang sangat indah dan damai, dipenuhi canda tawa dan persahabatan yang tak pernah hilang ditelan waktu. Mungkin jika ada yang membedahkan secara signifikan bahwa dahulu Ayah saya cukup diberikan rezeki untuk membiaya saya sampai kuliah dan hidup dengan layak dan nama group kami yang terlalu modern pada saat itu familia rose child. Nama tersebut diambil karena kami bersembilan menyukai telenovela Gadis Pemimpi yang ditayangkan setiap jam tiga sore setiap hari. Sisanya yah kira-kira seperti laskar pelangi inilah, sekolah peot, main di tempat kotor, menyukai gadis cina di pasar (nah ini pengalaman pribadi), ikut cepat tepat dan juara dan beberapa kegiatan lainnya. Intinya film dan novelnya benar-benar menyentuh hati sanubari.

Luar biasa kedua, 10 hari 1,5 juta penonton (jika tidak salah). Entah ini sebuah catatan yang luar biasa atau tidak, namun bila ditilik dari film ini yang kurang dipromosikan dengan gencar dan publikasinya juga tidak seheboh film-film yang sudah beredar sebelumnya (IMHO) seperti Ayat-ayat cinta, catatan jumlah penonton tersebut buat saya sangat luar biasa. Sebagai pencinta film yang selalu meluangkan waktu untuk menikmati film-film bioskop, mengetahui ada Film Laskar Pelangi 3 hari sebelum premier buat saya cukup aneh, untung saja salah satu sahabat saya yang sangat mencintai Novel ini memberitahukan dan mengajak saya untuk menonton premier filmnya, jika tidak, hmmm benar-benar deh saya sama sekali tidak mengetahui film ini akan premier.

Namun tentu ini baru minggu-minggu awal rilis, kalo diperhatikan publikasi media masa mulai cukup banyak muncul setelah film ini tayang seperti Sultan nonton 2 kali (Republika) dan beberapa media lainnya. Munculnya publisitas-publisitas dan kuatnya word of mouth setelah beberapa minggu ini tentu akan punya implikasi posisitif untuk mendorong masyarakat lain untuk menonton film tersebut baik itu di bioskop ataupun dari CD dan DVD nantinya, dan tentu ditambah lagi publisitas dari akibat Presiden RI menonton film ini jika tidak salah, lengkap sudah sepertinya.

Luar biasa ketiga, Tentunya bagi penulisnya. Si Penulis dengan sangat luar biasa mampu meramu cerita masa kecil dengan sangat baik dan membuat banyak pihak tertarik untuk meliput dan melakukan publikasi gratis bagi Novel ini sehingga menjadi sangat terkenal dan terjual lebih dari 500 copy lebih kabarnya. Jujur saja dari sisi cerita, rasanya banyak teman-teman yang masa kecilnya persis atau lebih tragis dari dari anak-anak di novel tersebut namun yah tentu kembali lagi membuat tulisan atau menulis kisah seperti itu jelas bukan perkara mudah bagi banyak orang, di penulis tentu punya give yang tidak dimiliki kebanyakan orang termasuk saya tentunya he....he.

Luar biasa ke empat, coba lihat barisan sponsor dan pendukung film ini, nama-nama mentereng seperti Pertamina, Mandiri, Telkom, Timah ada di dalamnya, hal ini tentu berarti Film ini punya prospek penonton yang sangat luar biasa, setidaknya begitulah pasti asumsi dasar dari dukungan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Yah intinya luar biasa, jika dulu saya pernah menulis Film Nasional Buble atau Sustainable, syukurlah sampai saat ini film-film nasional masih mendapatkan tempat yang layak di panggung perfilman Indonesia jika mungkin biasa dikatakan menjadi raja di negeri sendiri.

Ok sekarang kita sedikit kupas bagaimana laskar Pelangi ini bisa demikian suskes baik itu versi cetak maupun versi filmnya ditengah-tengah banyaknya novel-novel dan film yang diproduksi saat ini.

1. Andrea dan Insan Film

Cerita seperti ini sebetulnya cerita banyak orang, saya dan kita semua bahkan mungkin mengalami sendiri masa-masa kecil seperti cerita laskar Pelangi tersebut namun cerita yah tinggal cerita tentunya, Andrea Hirata dengan sangat hebat mampu melakukan hal yang tidak banyak dilakukan oleh lain yaitu Menuliskan Cerita Kecilnya. Kemampuannya menuliskan cerita masa kecilnya dengan cukup detail menciptakan sebuah buku yang sangat luar biasa.

Anda ataupun saya pribadi yang hidup kecilnya kurang lebih memiliki cerita yang sama unik dan menariknya mungkin berguman “wah sama atau kerenan cerita gua waktu kecil” ha.....ha yah tapi itulah faktor Given bisa menuliskannya ga?, kemampuan bercerita dan menuliskan sebuah kondisi dan cerita bukanlah perkara mudah bagi semua orang. Jadi jika bicara cerita, rasanya Laskar Pelangi ini sebetulnya mengangkat cerita yang sudah sangat banyak terjadi dan sangat mungkin kita sendiri yang mengalaminya.

Setelah itu, kemampuan sutradara dan penulis naskah untuk menggali novel ini lewat riset-riset awal di daerah masa kecil Andrea Hirata ini juga patut diacungi jempol, penggambaran suasana, tokoh dan cerita memberikan nilai tambah dan alasan tersendiri untuk kita merasa puas sehabis menonton film tersebut.

2. Publisitas

Ini mungkin salah satu kunci kesuksesan Laskar Pelangi. Saya sendiri mengetahui novel ini ketika ditanyangkan di Kick Andi. Sedikit menyimpang sebentar, jika kita perhatikan acara Kick Andi ini cukup efektif membuat sebuah publisitas terhadap produk, jasa ataupun orang yang dihadirkan di acara tersebut, mungkin secara segmentasi acara ini sangat tepat karena dihadiri oleh audience diberbagai kalangan termasuk wartawan dan juga ditonton oleh penonton Tv dari berbagai segmen yang memiliki pengaruh dalam melakukan buzz word.

Publisitas yang berhasil diciptakan oleh Laskar Pelangi ini kemudian secara cermat mampu dimanfaatkan oleh penulis, penerbit dan teamnya (bila ada) untuk melakukan rangkai komunikasi lanjutan (intergrated marketing communication) untuk terus mendorong produk “Laskar Pelangi” terjual novelnya dan tentunya langkah yang paling ditungguh-tungguh berikutnya peluncuran film Laskar Pelangi. And at last, they did excellent.

3. Komunitas

Entah mengapa saya memasukan unsur ini sebagai salah satu kunci sukses film Laskar pelangi ini. Beberapa hari lalu saya bersama klien saya pergi ke depok mengunjungi tempat pendidikan informal untuk anak-anak tidak mampu, dalam perbincangan dengan guru-guru di tempat tersebut saya cukup suprise bahwa mereka dan beberapa muridnya sudah menonton Laskar Pelangi bersama, “seperti cerita hidup kita, yang sengsara” kira-kira begitu jawaban mereka ketika saya bertanya mengapa mau menonton film tersebut, di informasikan juga dari guru tersebut bahwa teman-teman guru di sekolah yang lain juga bersama-sama muridnya sudah dan akan menonton film tersebut. Esoknya diberita internet sayapun sempat membaca bahwa ada ratusan guru yang juga menoton film ini secara bersama-sama di sebuah daerah.

Inilah hebatnya sekali lagi Film ini, secara disengaja atau tidak disengaja pengarang dan timnya (jika ada) mempu menciptakan beberapa komunitas yang sepertinya komunitas ini memiliki ikatan emosional tersendiri dengan film ini, katakanlah komunitas pendidikan yang di dalamnya terdapat guru dan murid. Coba saja bayangkan jika setiap sekolah mewajibkan atau mengagendakan sekolahnya baik itu murid maupun gurunya untuk menonton film ini, wah-wah tidak salah tentunya film ini mungkin akan mencetak sejarah dalam jumlah audience, ini baru dari sekolah, tentu masih banyak lagi target market baik itu komunitas maupun individu yang menyukai film ini.

Sedikit pembahasan, ketika sebuah produk berhasil menciptakan sebuah komunitas yang loyal dan memiliki ikatan emosional tersendiri hampir dipastika komunitas tersebut akan memberikan benefit yang sangat banyak bagi produk tersebut, yah katakanlah promosi gratis, pembelaan gratis dan sebagainya yang jika di valuekan dengan uang jumlah mungkin akan sangat banyak.

Tentu masih banyak faktor sukses yang bisa dikupas dari Laskar pelangi ini, tapi intinya kita berharap banyak lagi film-film nasional yang terus mendapatkan tempat dan menjadi raja di negeri sendiri, hanya beberapa hal yang perlu dijadikan pelajaran bahwa kekuatan cerita atau sebuah produk belum tentu bisa sukses tanpa marketing strategi yang tepat, yah tentu selalu ada anomali seperti kata guru besar manajemen Peter F Druker, Apa yang menurut kebanyakan orang benar terkadang ternyata salah, bisa saja sebuah film meledak tanpa ada perencanaan marketing strategi, yah siapa tahu khan, tapi pertanyaan terakhir saya, Apa Anda berani mempertaruhkan sebuah kesuksesan tanpa perencanaan?

Buat Tukang Komplain
Mau Komplain? Silakan!




Saya yakin Anda pasti sering (yah setidaknya pernah lah) mengunjungi sebuah departement store, supermarket, atau restoran-restoran besar. Jika Anda perhatikan, beberapa tempat tersebut suka memajang papan yang berisi foto seseorang dan bertulisan “Manager on Duty”. Dulu saya sempat berpikir “Ngapain sih majang-majang yang begituan? Narsis amat!”. Padahal setelah saya ketahui, ternyata papan tersebut dipajang untuk membuat para pengunjung atau konsumen tahu siapa yang bertanggung jawab atas keberlangsungan kegiatan di tempat tersebut. Fungsinya? Pernah dengar ada orang yang mendapatkan ketidaknyaman atas sesuatu di suatu tempat dan berkata “Saya mau bicara dengan managernya!”, atau “Siapa sih managernya??!!”. Intinya, papan tersebut memudahkan konsumen untuk melakukan complain! (kasian bener ya tuh manager! He....he).

Pertanyaan saya selanjutnya adalah “kenapa harus manager yang terima-terima complain? Bukannya udah ada bagiannya sendiri?” Coba sebutkan posisi apa saja yang biasa menerima complain? Receptionist, Customer Service, Waitress, Front Office…hmmm..apalagi ya? Yah sebutlah segitu dulu saja ok. Bukannya itu tugas mereka untuk berhadapan langsung dengan konsumen, termasuk menerima dan menangani complain? Yup! Itu emang tugas mereka, dan biasanya memang mereka kok “pager betis” pertama dalam hal seperti itu. Namun saya mencoba mengamati kenapa pada akhirnya manager harus turun tangan juga.

Bagaimana pun juga, manager pastilah memiliki kualitas pengetahuan dan attitude yang lebih baik dari mereka yang bertugas sebagai Receptionist, Customer Service, Waitress, atau Front Office, dan konsumen tahu betul tentang itu. Makanya mereka pikir menyampaikan complain kepada manager dirasa lebih worthed. Kenapa? Karena biasanya mereka-mereka itu juga akhirnya akan bilang “Nanti saya sampaikan ke manager saya” jika mereka sudah mentok atau tersudut atas complain konsumen. Nah saya malah akan bertanya “Kenapa?” lagi nih. Apa yang menyebabkan mereka-mereka yang seharusnya bertugas mengahadapi konsumen lengkap beserta complain-complain-nya itu kewalahan dan tidak mampu sampai-sampai harus melimpahkannya ke manager?

Hhmm…pasti ada sesuatu kan? Coba kita lihat deh, tingkat pengetahuan, pendidikan, status ekonomi masayarakat Indonesia sekarang ini sudah berkembang dengan cukup pesat. Hal ini tanpa disadari berpengaruh juga pada tingkat ekspektasi dan agresivitas serta sikap kritis mereka. Tentu saja ini menyebabkan mereka lebih sensitive jika mendapatkan sesuatu yang tidak nyaman atau tidak mengenakkan, apalagi jika sampai merugikan mereka sebagai konsumen. Maka dari itu complain yang mereka lontarkan juga biasanya cenderung menjadi lebih “gila” atau lebih unpredictable hingga tidak bisa di handle oleh posisi bawah.

Tampak menyeramkan ya? Heheee..untung saja keinginan saya untuk jadi Customer Service tidak dikabulkan oleh Tuhan (jiwa “banci tampil” saya rupanya tidak perlu tersalurkan di posisi itu, sebagai Brand Associate saja cukup!). Namun sebenarnya tidak akan semenyeramkan itu kok kalau kita bisa mengidentifikasi jenis-jenis pelanggan yang suka melakukan komplain sehingga kita juga tahu bagaimana harus menghadapi mereka. Yah seperti orang pacaran, kita harus mengenal karakteristik pasangan untuk dapat memperlakukan dia dengan tepat dan menyusun situasi yang nyaman bagi kita berdua. Nah, antara kita dan konsumen juga sama.

Makanya, sekarang coba lebih baik kita lihat jenis-jenis complainers itu apa saja.

1. Tukang Komplain Aktif

Jangan berpikir bahwa tipe compaliner yang satu ini sangat menyebalkan. Sesungguhnya compaliners seperti inilah yang sangat membantu perusahaan dalam melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas. Tukang komplain aktif tahu betul caranya untuk menyampaikan kompalin dengan baik dan benar karena mereka sangat mengerti apa yang berhak mereka dapatkan saat menggunakan produk atau jasa kita. Biasanya mereka mempunyai ekspektasi dan nilai tersendiri, sehingga jika itu tidak mereka dapatkan, komplain pasti diberikan secara baik. Bukan untuk menghujat, namun kompalin yang mereka sampaikan lebih ke usaha untuk menemukan pemecahan masalah yang mereka dapatkan dari perusahaan. Pelanggan seperti ini justru harus dihargai dan dimantain dengan baik oleh setiap perusahaan yang ingin terus berkembang menjadi lebih baik.

2. Tukang Komplain Tidak Aktif

Nah kalau complainer tipe ini justru harus diantisipasi oleh perusahaan jika tidak ingin pelanggannya kabur tanpa permisi seperti pembantu yang minggat dari rumah karena ‘pundung’. Tukang komplain Tidak aktif tidak suka menyampaikan komplainnya kepada perusahaan, mereka malah lebih suka berkomplain ria ke keluarganya, ke teman-temannya, ke kerabatnya, bahkan ke orang yang mereka tidak kenal sekalipun. Tanpa mau repot biasanyamereka langsung berganti haluan ke perusahaan lain yang sejenis tanpa membiarkan perusahaan kita tahu apa yang menjadi keluhan mereka terhadap kita. Lalu bagaimana perusahaan bisa memperbaiki diri jika hal-hal yang menyebabkan pelanggan ‘terganggu’ tidak diketahui karena ‘kebisuan’ para tukang komplain jenis ini? Belum lagi image jelek atas kompalin ke luar itu tidak dapat terdeteksi. Maka dari itu untuk menghadapi tukang komplain tidak aktif ini perusahaan harus pintar-pintar ‘membujuk’ mereka agar mau ‘buka mulut’ langsung kepada perusahaan kita. Selain itu buka telinga dan peka terhadap isu-isu yang beredar mengenai perusahaan kita juga dapat menjadi salah satu jalan menghadapinya.

3. Tukang Komplain Hiperaktif

Waaahh...kalau tipe tukang komplain yang satu ini sih memang sangat menyebalkan. Apapun juga pasti mereka keluhkan, mulai hal kecil apalagi hal besar tidak pernah luput dari perhatian mereka untuk dijadikan bahan komplain. Kamu pasti pernah nonton film atau sinetron di televisi yang menggambarkan seseorang yang sengaja menaruh lalat di mangkuk makanan pesanannya yang sudah mau habis. Setelah itu mereka pura-pura komplain kepada petugas agar petugas tersebut merasa bersalah sehingga menggratiskan pembayaran si konsumen tersebut. Yah konsumen seperti itu termasuk dalam tipe tukang komplain hiperaktif. Saking hiperaktifnya bahkan mereka tidak sungkan-sungkan bersikap kasar dan tidak sopan terhadap karyawan yang bertugas. Complainer ini menjadi dilema bagi perusahaan karena mereka sulit terpuaskan (memang maksud mereka hanya ingin mencari ungtung kok!) tapi juga tidak mungkin membiarkan komplain-komplain terus berlangsung di hadapan para pelanggan lain bukan?

Para tukang komplain di atas memang berbeda satu sama lain dan membutuhkan perlakuan yang berbeda. Namun bukankah jika kita bisa memperlakukan mereka dengan tepat maka akan berdampak positif bagi keberlangsungan dan perkembangan perusahaan kita sendiri. Komplain memang akan selalu terjadi karena sulit sekali menjadi sempurna di dunia bisnis. Namun yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir dampak negatif dari komplain-komplain tersebut. Yah, semestinya setiap perusahaan sekarang ini bisa berkata “Mau komplain? Silakan!”.



WWW.OPANG.ONBUK.COM
Nasi Goreng, Teknologi dan Marketing Strategi



Alamat website di atas bukan hanya cukup unik, namun Anda akan sangat terkejut bila mengetahui pemilik alamat website tersebut, penjual nasi goreng keliling di kompleks rumah saya. Gaya khan penjual nasi goreng keliling punya website? Apalagi kalo Anda baca salah satu copynya “resep bisnis jual 100 porsi nasi goreng per hari tanpa dukun” ha....ha, saya sendiri masih tidak habis pikir, hal terpikir oleh seorang tukang nasi goreng.

Ok back to topik, apa ya kira-kira keistimewaan dari Nasi Goreng Mas Opang ini? Sebagian besar pernduduk daerah tempat tinggal saya pasti kenal dengan nama yang satu ini. Kalau dari segi rasa, ya bisa dibilang lumayan, walaupun tidak ada bedanya dengan nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan (menurut saya loh, lain dengan testimonial konsumen lain tentunya). Tapi yang namanya orang mau beli nasi goreng MAs Opang ini pasti ngantri….lho kok bisa? Kan jualannya keliling? Ngantri dimana? Ya ngantri di rumah.

Inilah keunikannya dari Nasi Goreng Mas Opang, semua yang mau beli nasi goreng buatannya bisa sms. Kita tinggal sms saja, sebut alamat yang akan dituju, misalnya “Mas Opang, datang ke jalan Kartika no.5” kirim, tinggal tunggu balasannya. Selanjutnya tergantung nasib baik, kalau Mas Opang masih harus banyak mengunjungi rumah lain yang sudah lebih dulu sms, maka kita mau tetap tunggu Mas Opang atau panggil penjual nasi goreng selain Mas OPang yang lewat depan rumah.

Seringkali saya dan keluarga mendapat balasan sms seperti “Pak/Bu/A’/Teh, saya masih harus ke jalan ini, jalan itu, jalan A, Jalan B, dsb. Kayanya masih lama deh. Panggil yang lain saja, takutnya kehabisan” he....he tormenting the customer. Tapi ada saja pelanggan yang tetap tunggu Mas Opang, walaupun datang ke rumah yang tersisa tinggal Nasi Goreng. Oya, selain Nasi Goreng, Mas Opang juga menjual kwe tiauw, mie goreng/rebus, bihun goring/rebus, dan cap cay yang rasanya dijamin tidak mengecewakan. Harga yang ditawarkan juga relative terjangkau antara Rp.6000-Rp. 7000/porsi. Bicara soal www.opang.onbuk.com, website mas Opang ini juga dilengkapi oleh Resep Bisnis berjualan nasi goreng, profil Mas Opang, dan testimonial dari para penggemarnya. Penasaran? silakan buka sendiri websitenya.

Ok coba kita perhatikan beberapa hal sederhana dari penerapan marketing strategi yang dilakukan oleh mas Opang sehingga produknya selalu habis terjual:

Pertama Diferensiasi

Keunikan cara berjualan nasi goreng yang dilakukan oleh Mas Opang ini adalah via sms atau telepon. Bagi saya mas Opang pintar memanfaatkan peluang. Zaman sekarang yang namanya handphone hampir setiap orang memilikinya dan mampu membeli. Dulu awalnya Mas Opang memang Cuma berjualan dengan lewat saja di depan rumah seperti umumnya penjual nasi goreng keliling. Lalu setelah membayar, mas Opang memberikan no. hapenya sambil berujar “Pak/Bu, kalau suka dengan nasi goreng buatan saya silakan sms/telpon nomor ini. Bilang saja alamatnya di mana nanti saya pasti datang”. Inilah diferensasi yang dimiliki oleh MAs Opang. Secara content atau apa yang ditawarkan, sama dengan para rekannya, yaitu nasi goreng, capcay, mie goring dsb. Rasanya juga hampir sama, tidak ada bedanya bagi saya. Namun secara context atau bagaimana menawarkan inilah yang lain daripada yang lain, yaitu via sms. Tidak seperti penjual nasi goreng yang lain, berjualan dengan mengetok bagian belakang katel/penggorengan, MAs Opang akan datang kalau kita telepon atau sms. Jadi kalau mau nasi gorengnya Mas Opang ya sms saja.

Context dalam marketing sangat penting untuk diperhatikan, ketika dalam industri yang kita hadapi content produk hampir sulit dijadikan keunggulan competitve perusahaan maka kita perlu menggeser peta persaingan memasuki area ini. Secara teori, context akan selalu lebih sulit untuk ditiru daripada content produk, mengapa? Context dalam pemikiran saya (IMHO) akan lebih banyak bermain diwilyah customer mind sehingga ketika kita berhasil masuk dan mendapatkan tempat dibenak konsumen akan sulit posisi tersebut diambil dan dicuri oleh produk pesaing.

Kedua Perhatikan Pelanggan

Kenapa banyak pelanggan yang rela menunggu Mas Opang walaupun harus sampai larut malam, demi sepiring nasi goreng atau mie goreng? Karena ada ikatan emosional disini. Mas Opang mampu memberikan pelayanan yang bisa memenuhi need (kebutuhan), want (keinginan), dan expectation (harapan) dari para pelanggannya. Namanya pelanggan selalu tidak puas, “Pang, bali nasi goreng yah.Yang pedes, tapi ga pake kecap, jangan pake vetsin, telornya jangan diceplok tapi di dadar” dan masih banyak lagi permintaan pelanggan yang aneh-aneh. Tapi MAs Opang selalu berusaha untuk memenuhi keinginan pelanggan tersebut, tanpa merasa kesal. Walaupaun terkadang Mas Opang sering lupa saking kebanyakan pesanan kalau seisi rumah memesan masakannya MAs Opang. Senyum tidak pernah lepas, dan ramah selalu menjadi prioritas utama. Siapa yang tidak senang diperlakukan seperti itu? Inilah nilai plus dari Mas Opang.

Ketiga Marketing Mix

Kita bahas dari sisi product, komplek perumahan di mana saya tinggal memang cukup membuat kita malas pergi mencari makan, jarak untuk mencapai pusat makana cukup memakan waktu dan juga memerlukan kendaraan sehingga nasi goreng keliling merupakan alternatif yang sangat menarik untuk menjadi pilihan ketika lapar.

Kedua dari Sisi Price, Nasi Goreng Mas Opang ini harganya tidaklah terlalu mahal. Seperti sudah dikatakan di atas, bahwa harganya berkisar antara Rp. 6000-Rp. 7000/porsi. Dengan harga tersebut kita sudah mendapatkan sepiring nasi goreng yang lezat dan porsinya bisa dibilang banyak.

Dari sisi Promotion, dengan memanfaatkan teknologi handphone MAs Opang sudah cukup jeli dalam berjualan. Zaman sekarang siapa yang tidak punya handphone. Apalagi sekarang dengan harga 200 ribu kita sudah bisa mendapatkan handphone second yang masih bisa digunakan. Dengan sekali sms atau telepon tinggal tunggu saja mas Opang datang. Belum lagi MAs Opang sudah membuka website sendiri, dengan demikian secara tidak langsung MAs Opang juga memperkenlakan Nasi Goreng buatanya untuk dikenal masyarakat lebih luas.

Ketiga dari sisi Place, ini juga yang mendukung. komplek perumahan saya adalah salah satu komplek dengan tingkat hunian mahasiswa yang cukup padat. Seperti kita ketahui habit dari para mahasiswa atau anak kost, mau cari makan kalau jalan agak malas, apalagi kalau sudah malam, mending cari yang gampang saja. Telepon atau sms mas opang, mudah dan cepat. Apalagi porsinya banyak, dijamin puas.

Sebetulnya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga dari seorang penjual nasi goreng, Mas Opang walaupun dalam kesederhanaannya sebagai penjual nasi goreng mampu dan memahami bagaimana pentingnya marketing strategi untuk diterapkan di dalam berbisnis, sekalipun itu nasi goreng. Anehnya di dalam banyak kesempatan bertemu dengan pemilik bisnis ada saja yang tidak mengerti bagaimana differensiasi itu dibangun, bagaimana membuat aktivitas promosi yang kreatif dan out of the box, bagaiamana menciptakan strategi untuk membuat konsumen loyal dan cinta terhadap produknya. So bagaimana dengan Anda?

Belanja dan Hedonisme
Bukan Salah Bunda Mengandung


“hoyong jalan-jalan ka mol!” (pengen jalan-jalan ke mall!), celoteh ponakan saya yang baru saja datang dari Gunung Puntang dua minggu lalu. Belum sempat saya menjawab, terdengar komentar ibunya, “Entong ah, rek naon? Marahal diditu mah, jang nu beunghar!” (Jangan ah, mau apa? Disana pada mahal, buat orang kaya!). Hahaaa…saya hanya bisa tertawa kecil mendengar percakapan tersebut. Bukan karena tingkah mereka lucu, tapi karena menyadari dua hal. Pertama, anak berumur lima tahun yang tingggal di desa sudah tahu tentang mall. Kedua, sepupu saya (ibu anak tersebut) yang sudah beberapa kali saya ajak ke mall ternyata mempunyai persepsi sendiri tentang mall, bahwa mall itu produknya mahal, dan karena mahal itu artinya hanya orang kaya yang bisa berbelanja disana. Hhmm…menarik juga! Jika saya pikirkan lagi, memang ada benarnya juga pendapat sepupu saya tersebut. Mall, bagaimanapun juga berbeda dengan pasar-pasar tradisional seperti Pasar Baru atau Kosambi, bahkan juga tidak bisa disamakan dengan Departemen Store seperti Matahari atau Yogya apalagi Ramayana.

Saya jadi teringat komentar seorang teman saya yang merupakan aktivis anti kapitalis akut ketika saya ajak berbelanja ke BIP (saya sebut akut karena idealisme “anti kapitalisme”-nya itu benar-benar mendarah daging). Dia berkata “Sorry, gw bukan kaum hedonis!”. Dia merasa bahwa orang yang berbelanja ke mall adalah hedonis dan perilaku berbelanja di mall adalah perilaku hedon. Lagi-lagi saya juga saat itu hanya bisa tersenyum, tidak bisa menyalahkannya juga untuk idealimenya tersebut. Image mewah, ekslusif, mahal, dan prestisius memang melekat sangat kuat di mall. Mungkin itu sebabnya label “hedonis” jadi ikut melekat ke orang-orang yang suka berbelanja di mall karena terlihat sangat ‘duniawi’ sekali. Yah, “bukan salah bunda mengandung” kan?

Saya sendiri sebagai pengkonsumsi fasilitas mall tidak terlalu keberatan dengan istilah hedonis tersebut karena sesungguhnya motif-motif hedonis memang berperan juga dalam pertimbangan keputusan berbelanja. Bahkan jika kita mau lebih menggali lagi, istilah konsumsi hedonis ini berarti si konsumen memang menginginkan dan mementingkan pengalaman yang menyenangkan, fantasi, hiburan, dan stimulasi sensoris saat melakukan pembelian maupun saat menggunakan pruduk atau jasa yang dibelinya.

Tidak bisa kita pungkiri kan bahwa semua hal tersebut saat ini hanya bisa kita dapatkan jika berbelanja di mall. Saat ini, masyarakat kita cenderung lebih “manja” dan sesuai dengan karakteristik orang Asia, kita senang dilayani dengan semaksimal mungkin. Hal-hal inilah yang membuat kita, terutama kalangan menengah ke atas, tidak pernah merasa bahwa berbelanja di mall merupakan hal yang berlebihan. Buktinya saja saat pertama kali Bandung Indah Plaza (sekarang Plaza Bandung Indah) beberapa belas tahun yang lalu, sebagai mall pertama dan satu-satunya di Bandung saat itu, antusiasme dan respon masyarakat Bandung sangat positif. Hingga saat ini pun jumlah pengunjung dan pembelanja disana cukup ramai.

Situasi seperti ini ternyata teramati juga oleh para pengusaha di Indonesia. Sikap hedon masyarakat Bandung dimanfaatkan dengan berlomba-lomba membangun mall-mall lain yang bisa memenuhi ekspektasi kaum hedonis. Bisa kita lihat saat ini banyak sekali bermunculan mall-mall di Bandung mulai dari skala menengah hingga untuk kalangan atas. Semakin kuat tingkat hedonisme di masyarakat, semakin tinggi juga kualitas mall yang dibuat oleh para pengusaha tersebut. Kita bisa lihat Paris Van Java, Istana Plaza, Cihampelas Walk, dan mall-mall baru yang lain.

Namun melihat semua fenomena tersebut, saya malah jadi tertarik membahas mengenai sebenarnya apa sih yang menyebabkan masyarakat kita termotivasi untuk berbelanja hedonis seperti itu. Menurut ahli pemasaran, ada beberapa motif yang membuat orang ingin berkunjung ke sebuah perbelanjaan:

1. Adventure Shopping

Dengan menjamurnya toko-toko baju yang ada, terkadang kita merasa bosan dengan konsep toko dan produk yang cenderung sama. Hal ini menyebabkan kita mencari tempat belanja yang dapat memberikan kita suasana berpetualang, menstimulasi atau merasakan berada di suatu dunia lain yang belum pernah kita dapatkan sebelumnya saat berbelanja. Saya pernah bela-belain pergi jauh-jauh ke Kampung Cina untuk berbelanja hanya karena saya mendengar bahwa suasana dan dekorasi di sana sangat berbeda, beragam dan khas sekali. Terdengar gila jika kaum lelaki yang menilainya, namun kaum perempuan yang lebih banyak kaum hedonisnya tentu dapat memahami motivasi saya tersebut J.

2. Social Shopping

Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka berbelanja melalui web site, bukan karena ribet atau gaptek (gagap teknologi), tapi lebih karena saya merasa bahwa jual-beli yang terjadi tidak menarik, monoton, dan sepi. Saya lebih suka berbelanja ke tempat yang dapat memberikan saya suasana yang menunjang terjadinya sosialisasi dan interaksi dengan pihak lain, baik itu konsumen lain maupun penjualnya. Contoh, saya tahu jika berbelanja di Factory Outlet, saya bisa bertanya langsung mengenai model baju yang saya inginkan ke SPG yang bertugas atau bahkan bertukar opini dengan pengunjung lain, maka dari itu saya memutuskan berbelanja ke Rumah Mode. Inilah yang disebut dengan faktor Social Shopping dalam motivasi Hedonis. Selain itu, faktor ini juga didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan suasana kebersamaan dengan keluarga atau teman atau sahabat. Saya memutuskan untuk berbelanja makanan di Warung Lela karena disana saya mendapatkan suasana yang nyaman untuk dinikmati bersama keluarga besar saya.

3. Gratification Shopping

Pernah merasa stress berat dan ingin melampiaskannya dengan berbelanja? Saya yakin sekarang ini perilaku seperti itu bukan saja dominasi kaum perempuan, tapi juga kaum pria. Dengan atau tanpa kita sadari seringkali dalam suatu suasana tertentu, entah itu gembira karena presentasi kita di hadapan jajaran direksi berjalan dengan sukses atau stress karena dikejar deadline pekerjaan yang tidak kunjung selesai, kita berkeinginan untuk melampiaskannya dengan berkunjung ke suatu mall atau butik untu berbelanja apa saja yang bisa menyenagkan hati. Gratification Shopping lah yang menjadi faktor motivasi berbelanja tersebut.

4. Idea Shopping

Apakah kamu pernah disebut “Trend Setter”? atau kamu termasuk orang yang mengikuti trend?. Motivasi yang mendorong kita berbelanja ke suatu tempat hanya untuk mengetahui trend apa yang sedang berkembang, model baju seperti apa yang sedang in, atau produk apa yang baru saja keluar, disebut dengan faktor Idea Shopping. Saya yakin hampir semua dari kita pernah memiliki motivasi seperti ini, well...saya sih sering! Heheee!

5. Role Shopping

Teman saya pernah terheran-heran saat melihat seorang pria membeli boneka babi warna pink berukuran sangat besar. Menurutnya itu aneh. Bagi saya itu bukan hal yang aneh, mungkin saja kan dia membeli boneka itu bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk pacarnya. Saya selalu merasa bersemangat setiap kali berkeinginan untuk membelikan Mama atau adik saya sesuatu. Motivasi inilah yang kemudian disebut sebagai role shopping. Harapan bahwa orang yang kita belikan barang tersebut akan merasa senang memberikan motivasi tersendiri dalam dirikita saat berbelanja.

6. Value Shopping

Nah kalau untuk faktor yang satu ini Mama saya juaranya (well, saya pikir semua ibu-ibu juga pasti sama). Melakukan pembelanjaan karena suatu barang kebetulan sedang dalam program diskon atau promosi hadiah memang cenderung disukai oleh siapapun. Tawar-menawar yang bisa dilakukan juga terkadang menjadi faktor pendorong kita dalam melakukan pembelian. Hal inilah yang disebut dengan value shopping. Mama saya selalu berbelanja bulanan di Griya karena dia tahu bahwa disana dia bisa menemukan produk-produk yang sedang didiskon.

Motivasi-motivasi hedonis di atas dapat menjadi masukan bagi para pengusaha yang tertarik untuk membuka sebuah tempat belanja untuk membuat tempatnya dapat mengakomodasi keinginan kaum hedonis. Begitu pun dengan pemilik tempat belanja yang sudah ada, dengan mengetahui motivasi-motivasi tersebut, perbaikan dan kesesuaian mungkin perlu segera dilakukan jika ingin kaum hedonis tersebut tetap loyal dengan brand atau tempat yang dimiliki. Buat kita kaum hedonis (ngakunya), semoga saja mereka semua dapat memenuhi ekspektasi kita sehingga kita makin termotivasi untuk berbelanja.

Oct 10, 2008

Kepuasan Pelanggan
Antara Harapan dan Realita



Pernah nggak kamu melihat iklan baru, baik itu di media cetak maupun elektronik dan kamu langsung tergoda untuk mencoba produk atau jasa tersebut? Kalau kamu bertanya balik pada saya, saya pasti akan menjawab “Sering banget!”. “Korban iklan’ kalau Ibu saya bilang sih. Tapi jangan tanya apakah saya sering ‘tertipu’ setelah mencoba produk atau jasa tersebut atau tidak, karena saya akan menjawab “Sering banget!” (juga).

Contoh, salah satu iklan Teh? Iklannya di televisi dengan konsep yang merakyat dan lagu yang ear cathing benar-benar menarik hati saya sebagai pecinta teh untuk mencoba (sstt...bahkan saya hapal lagunya lho!). Terbayang oleh saya teh tersebut pasti sangat nikmat dan memiliki aroma serta rasa yang khas dan berbeda. Namun ketika saya membeli dan mencobanya tenyata semuanya jauh dari bayangan saya sebelumnya. Bukan kecewa dan bukan karena rasanya tidak enak, tapi mungkin ini adalah masalah selera setiap orang yang berbeda. Saya terlanjur berharap bahwa teh poci rasa vanilla tersebut sesuai dengan lidah saya, tapi ternyata tidak.

Pernah suatu hari saya dan teman-teman berencana untuk ngopi-ngopi sambil rumpi-rumpi (biasa lah, anak muda!). Kami sepakat untuk memilih Coffee Shop di belakang Soes Merdeka untuk rencana tersebut karena kami pernah beberapa kali kesana dan suasana, rasa serta pelayanannya cukup memuaskan. Namun entah kenapa waktu itu kami cukup dibuat kecewa dengan pelayanan waitress-nya yang selalu salah menyiapkan pesanan kami dan cukup lelet (lama), bahkan rasa makanan yang kami pesan juga tidak seenak biasanya. Kecewa? Tentu saja! Kami memilih untuk datang kesana dengan harapan mendapatkan kenyamanan yang sama dengan kunjungan sebelumnya. Namun ternyata harapan kami tidak kami dapatkan di kunjungan kali itu.

Lalu apa hubungannya dua cerita saya di atas? Apakah antara teh dan kopi? Hehee..bukan saudara-saudara, bukan itu inti cerita saya tersebut. Ini semua mengenai sebuah kata, yaitu “harapan”. Di cerita pertama saya mempunyai harapan atas produk yang belum pernah saya rasakan, sementara di cerita kedua saya mempunyai harapan atas produk dan service yang pernah saya rasakan sebelumnya. Kekecewaan yang saya dapatkan tersebut disebabkan karena sebelum saya mencobanya saya sudah membentuk harapan saya sendiri. Harapan, bagaimana pun juga tidak bisa kita pungkiri bisa menjadi standar dalam memprediksi kualitas produk dan servise serta standar idealnya.

Harapan saya, yang merupakan pelanggan, seharusnya menjadi salah satu perhatian penting bagi setiap perusahaan. Itu sebabnya dalam riset mengenai pemasaran atau produk / jasa kita selalu memasukkan unsur ‘expectation’ dari customer selain ‘need’ dan ‘want’. Salah-salah jika kita tidak bisa memenuhi harapan pelanggan, mereka akan kecewa dan kabur dari perusahaan kita. Selain itu dengan mengetahui harapan pelanggan, kita akan dapat dengan mudah memberikan pelanggan tersebut kepuasan saat mencoba produk atau jasa yang kita miliki.

Tentu saja kita juga harus tahu sebenarnya factor-faktor apa saja yang menentukan harapan pelanggan. Jika kita telaah, ada tujuh factor yang perlu kita ketahui. Apa saja? Yuk kita bahas!

Faktor pertama yaitu enduring product/ service intensif.

Faktor ini bersumber dari sensitifitas sesorang akan suatu produk/ jasa. Jika kita masuk rumah sakit, kita tentu mempunyai harapan untuk mendapatkan perawatan dan pelayanan yang baik, sama dengan perlakuan mereka terhadap pasien lainnya, walaupun mungkin kita bukan pasien kelas atas. Sensitivitas seperti ini bersifat stabil.

Faktor kedua yaitu transitory product/ service intensif.

Factor ini berbeda dengan enduring service intensif karena sensitivitasnya hanya bersifat sementara. Pengalaman saya terakhir berkunjung ke coffee shop di atas akan membuat saya mempunyai acuan yang lain dalam kunjungan berikutnya.

Faktor ketiga yaitu personal need.

Faktor ini lebih didasarkan pada kebutuhan masing-masing orang, baik itu dari sisi fisik, psikologis atau sosial. Orang yang berasal dari strata ekonomi atas tentu mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap sebuah produka tau jasa yang dia gunakan. Begitu pula dengan fisik, orang yang berpostur tidak tinggi tentu berharap bahwa meja restoran yang dia kunjungi berukuran rendah.

Faktor keempat yaitu perceived product/ service atlernatives.

Faktor ini sesuai dengan namanya adalah sebuah persepsi yang dimiliki pelanggan mengenai produk atau jasa serta layanannya. Harapan ini tentu akan semakin besar jika ternyata pelanggan mempunyai bayak pilihan lain. Saat kita ingin memotong rambut, tentu kita memiliki persepsi berbeda mengenai Anata, Jhonny Andrean, Yoppie, atau Rudi Hadi Suwarno. Harapan kita pun akan lebih banyak dengan banyaknya pilihan tersebut bukan?

Faktor kelima yaitu self –perceived product/ service roles.

Faktor ini merupakan persepsi yang melibatkan keterlibatan kita dalam harapan yang terbentuk. Misalnya, saat kita makan di restoran jepang yang menyediakan paket makanana yang kita masak sendiri di meja, kita tidak akan terlalu kecewa jika rasanya tidak seenak bayangan kita karena kita juga terlibat dalam hasilnya.

Faktor keenam yaitu situasional factors.

Faktor ini membuat pelanggan lebih mengerti dan memahami jika harapannya tidak terpenuhi, bahkan sebelumnya dia telah menurunkan harapannya tersebut. Contohnya, jika kita hendak berbuka puasa di sebuah restoran, kita tentu akan menerima dan mengerti sejak awal bahwa pasti restoran tersebut akan penuh sekali pelanggan sehingga akan cukup lama menunggu makanan yang kita pesan.

Faktor terakhir yaitu positive word of mouth.

Faktor ini berasal dari rekomendasi orang lain kepada pelanggan kita. Saya termasuk orang yang memiliki harapan besar saat me-laundry pakaian saya di 5asec karena rekomendasi teman tentang perusahaan tersebut sangat baik .

Semua faktor-faktor penentu harapan pelanggan itu bila dapat kita pahami dengan baik dan dapat kita terapkan di bisnis yang kita miliki tentu akan membuat bisnis kita tetap berjalan bahkan memiliki loyal customer. Brand equity juga bisa terbentuk dengan kuat jika kita bisa memenuhi harapan pelanggan bukan?

Oct 7, 2008

Uwo Uwo
Lagu Bokap di Jaman Modern


Mungkin dalam tahun ini, iklan Telkom (Lokal) inilah yang membuat saya tersenyum dan geleng-geleng kepala, bagaimana tidak lagu yang dijadikan backsound iklan tersebut bener-bener JADUL dan lagunya bapak gua banget, belom lagi tampilan bintang iklan yang bener-bener dah, gaya noykap gua abis pas masih mudah. Sewaktu kecil dulu ayah saya suka sekali dengan lagu ini, sampai-sampai jika diminta menyanyikannya sekarang saya masih hafal sebagian besar lirik lagunya, yah iyalah secara bokap gua nyetel tuh setiap hari lagi pas gua masih belom sekolah.

Ok kembali lagi, perkembangan industri telokomunikasi seluler saat ini memang bisa dikatakan sangat luar biasa, dahulu jangankan handphone, pager ajah sudah jadi barang mewah untuk dimiliki, tapi sekarang coba saja liat, mulai dari tungkang angkot sampe penggangguran di penggir jalan hampir sebagian besar memiliki handphone dan hebatnya lagi kadang saya sendiri sampe geleng-geleng kepala melihat tipe handphone yang mereka miliki, secara gitu lebih bagus dari gua yang pebisnis. Belum cukup sampai di situ, saat ini memiliki dua handphone malah seperti menjadi sebuah kewajiban, satu GSM, satu lagi CDMA, jadi tidak aneh jika pertanyaan sahabat kita akan berbunyi kira-kira seperti ini “eh handphone loh bagi dong nomornya...... kalo yang nomor CDMA ada ga?”

Bagi telkom, selain berkah, perkembangan industri seluler ini juga menjadi ancaman tersendiri yang tidak bisa dibiarkan begitu saja menggerogoti pasang pasar personal fixed line mereka, sehingga mereka harus mengeluarkan strategi marketing yang inovatif dan inovasi produk untuk terus mempertahankan. Permasalahaannya kemudian adalah apakah iklan JADUL dan penurunan tarif akan cukup efektif untuk mendongkrak atau setidaknya mempertahankan pangsa pasar mereka?

Ada beberapa faktor yang mungkin akan menjadi kendala yang pada akhirnya strategi diskon harga fixed line ini tidak akan bertahan efektif untuk terus menjadi senjata mempertahankan pangsa pasar Telkom apalagi di daerah dimana GSM dan CDMA bisa didapatkan dengan mudah.

Pertama, Budaya dan kebiasaan.

Penggunaan mobile phone sekarang sudah menjadi budaya dan kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya di daerah yang sudah dicapai oleh operator-operator telekomunikasi, handphone dan pulsa bukan lagi barang mahal. Secara gitu Hp second ajah bisa dapet cepek dan pulsa bisa diketeng 5 ribuan coba. Selain itu Coba saja kita bayangkan ingin menelepon ke saudara, tante, teteh dan sebagainyalah katakanlah kira-kira telepon ke HP mereka ato ke rumah mereka? Dulu kita tidak punya alternatif untuk menelepon namun sekarang daripada telepon ke rumah lebih baik telepon ke HP, jelas, cepat dan langsung ke tujuan.

Kedua, Tidak Fleksibel.

Coba kita pikirkan kembali mengapa mobile phone demikian pesat berkembang dalam satu dasawarsa ini? Yah salah satu reason yang paling penting adalah karena mobile phone bisa dibawa kemanapun kita pergi sehingga memudahkan orang untuk saling berkomunikasi sehingga lambat laun siapapun yang berhubungan dengan kita pasti akan secara langsung melakukan panggilan langsung ke handphone kecuali lagi sibuk atau mati handphonenya. Itupun biasanya kontak ke handphone temen, dede, kakek, nenek kita buat nanyain lagi ada di mana, bukan ke telepon rumah. Coba Anda buka phone book Anda, coba lihat berapa nomor yang merupakan telepon rumah? Ha.....ha saya sendiri bahkan tidak pernah menanyakan nomor telepon rumah pacar saya kepadanya, apalagi temen-temen yang lain, lah sudah ada handphone kok, kalo cari orang yah ke handphonenya apalagi kalo Anda tipe orang yang sibuk dan mobile.

Ketiga, Tarif

Coba saja perhatikan fasilitas yang diberikan oleh Telkom Flexy sendiri deh, wong jangankan lokal wong interlokal ajah bisa gratis dalam satu wilayah katakanlah jawa barat, banten dan jakarta, nah kalo sudah begini ngapain lagi pake telepon rumah? No reason, kalo istilah kerennya mungkin apa differensiasinya gua tetap harus pake telpon rumah? Kadanng kalo diperhatikan, ada kontradiktif strategi yang dijalankan oleh Telkom melalu iklan terbarunya ini, mereka cukup gencar beriklan ketika Flexypun sedang gencar beriklan, yah kecuali melakukan kanibalisasi pasar yah.

Keempat. Fasilitas

Ini mungkin merupakan salah satu ganjalan terbesar bagi fixed line yang memiliki keterbatasan dalam melakukan banyak hal. Mobile phone saat ini mempu menyajikan segudang fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh konsumen telekomunikasi seperti SMS, MMS, GPRS, Internet, File Sharing, Photo dan sebagainya, dan semua hal tersebut masih dikombinasikan lagi dengan kelebihan mobile yang dimiliki oleh mobile phone.

Jika bicara jangka pendek program yang sedang dilakukan saat ini berupa diskon waktu percakapan mungkin bisa menjadi alternatif untuk mendorong trafic percakapan sekaligus memperluas pangsa pasar namun jangan berharap ini bisa menjadi solusi jangka panjang yang bisa digunakan oleh Telkom, karena cepat atau lambat saya yakin sekali tarif telekomunikasi akan semakin murah begitupun dengan devicesnya handphone juga akan semakin murah sehingga barier untuk masuk dan menikmati fasilitas mobile phone akan sangat mudah didapatkan, yah kecuali untuk daerah-daerah terpencil tentunya.

Ok lantas adakah solusinya untuk terus mengembangkan pasar dan mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada? Ada beberapa ide yang mungkin bisa menjadi alternatif.

Pertama. Cross Selling.

Jika bicara secara korporate, Telkom memiliki banyak sekali produk dan layanan yang dijual kepada konsumen, katakanlah Flexy, Speddy,Content dan Aplikasi, Public Phone (Personal), nah dari beberapa produk yang dijual bisa dilakukan cross selling seperti kepemilikan internet + pembukaan line telepon baru, dengan menawarkan speedy Telkom bisa sekaligus memasarkan Fixed linenya. Ada kejadian cukup aneh ketika saya dan teman saya pernah ingin berlangganan Speedy namun ditolak karena tidak memiliki fixed line tanpa si sales tersebut menawarkan sama sekali untuk saya sekalin membuka fixed line baru, loh apa Telkom udah ga butuh pelanggan Fixed line yang baru yah “guman saya” waktu itu, padahal kalo istilah orang tua kita dulu sekali dayung dua tiga pulau terlewati nih.

Kedua. New Usage.

Siapa yang tidak butuh Fax? Nah ini semacam contoh laten demand bagi kebanyakan orang apalagi yang memiliki usaha di rumahanya, kebutuhan akan Fax dan dibundling dengan Internet diperumahan rasanya memiliki pangsa pasar yang cukup lumayan untuk digarap, apalagi Telkom bisa menjual fasilitas ini bersama dengan mesin Faxnya sehingga dari sisi pendapatan akan semakin besar. Namun kendalanya kadang saya sendiri pernah mengalaminya dulu untuk minta nomor telepon baru ke Telkom bukan perkara mudah, lama dan berbiaya cukup mahal sehingga terbangun image yang kurang baik, entalah kalau sekarang.

Ketiga, Inovasi.

Nah in kata yang mudah diucapkan tapi sulit direalisasikan nih, yah seperti halnya inovasi Speedy yang bisa digunakan melalui Fixed Line, mungkin harus dicari inovasi-inovasi baru lagi yang mungkin penggunaan telepon tetap tidak menggembirakan namun secara pemanfaatan jaringan Fixed Line dapat di dimanfaat seperti speedy seperti TV berlangganan, Fixed rate untuk lokal phone, virtual fax, video call, livecamp. My own Tones dan sebagainya.

Jadi, uwo uwo saja tidak akan cukup untuk menghadapi perubahan-perubahan pasar, masih dibutuhkan banyak strategi dan inovasi baru untuk terus survive untuk terus menjadi yang terdepan. tapi apapun hidup Telkom deh, semoga tarif semakin murah.

Klisenya Sebuah Diferensiasi


Bagi anda para pebisnis atau yang telah berada dalam dunia pemasaran dalam jangka waktu yang lumayan, pasti sudah bosan dengan istilah diferensiasi. Lagi-lagi dalih untuk menjadi berbeda disebut-sebut sebagai kunci utama memenangkan persaingan dalam bisnis. Mungkin juga bagi anda yang adalah pelaku bisnis sempat patah hati dengan diferensiasi, di mana rasanya sih anda telah melakukan sebuah diferensiasi, tetapi ternyata anda belum juga menyalip pesaing anda, dan angka penjualan anda masih berjalan di tempat. Entah ada misteri apa dibalik diferensiasi ini, di mana begitu banyak pembicara marketing yang meng-elu-elu-kannya.

Pengalaman yang mungkin banyak dialami oleh orang lain sempat dialami juga oleh orang tua saya. Menghadapi usia pensiun, di mana sudah tidak lagi ada pemasukan untuk keluarga, orang tua saya sempat membuka sebuah toko. Kebetulan lokasinya waktu itu di Glodok, Jakarta. Pada waktu itu mereka menjual produk-produk kecantikan, seperti shampo, sabun, make up, sisir, dan sejenisnya. Sistem toko waktu itu adalah sebagai retailer, yang membeli putus dari penjual grosiran. Dan kebetulan pusat pembelian barang-barang tersebut adalah di daerah Asemka, yang tidak jauh dari Glodok.

Pada waktu itu toko di buka dengan optimis, di mana tempat tersebut yang konon ramai (sebelum direnovasi) bisa menarik pengunjung untuk membeli kebutuhan mereka di sana, tapi selang waktu berjalan hampir ½ tahun, nampak toko sepi dari pembeli dan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan untuk tutup saja. Sempat pada masa itu mereka sangat kebingungan dan putus asa, masa sih tidak ada yang mau membeli di sana? Dan tidak seorang pun dapat menjawabnya pada waktu itu (termasuk saya yang masih tingkat 1).

Sekarang, persoalan tersebut nampak seperti langkah bodoh yang bisa saja diambil siapapun, tidak hanya orang tua saya. Setelah saya banyak membaca dan terjun langsung dalam dunia analisa bisnis, persoalan tersebut tentu bukan hal yang tidak ada jawabannya. Jawabannya seperti membalik telapak tangan alias mudah. Tentu saja tidak ada yang beli di toko orang tua saya tersebut, karena kami tidak memiliki 1 alasan pun kenapa konsumen harus membeli barang tersebut di toko kami. Tentu ada jawabannya ya.. yaitu kepepet, seperti misalnya tetangga toko kami yang lupa bawa sisir lalu beli di tempat kami, dan alasan-alasan kepepet lainnya (o ya ada alasan lain, pembeli adalah kenalan orang tua saya yang pasti! Hanya basa-basi berkunjung dan membeli).

Tidak ada 1 alasan pun mengapa konsumen harus membeli produk yang dijual oleh ribuan toko lain di Jakarta, yang menjual dengan harga lebih murah, varian lebih lengkap, lokasi yang lebih terjangkau dan tempat yang lebih nyaman. Toko-toko seperti mini market, super market, hyper market, menawarkan tempat yang lebih nyaman untuk berbelanja, dan jika mereka yang benar-benar menginginkan harga yang lebih murah, mereka bisa langsung ke Asemka, yang jaraknya tidak jauh dari toko kami.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini? Ya! Lemahnya diferensiasi. Ini adalah satu contoh kasus yang sangat simple dari pembahasan diferensiasi. Sangat sederhana yah? Dan sangat umum kah? Hingga hampir 80% para pebisnis baik skala kecil hingga menengah pun masih melakukan kesalahan tersebut hingga detik ini? Jika anda sempat mengamati setiap anda naik mobil pergi atau pulang dari kantor, banyak sekali bisnis bertebaran di kanan dan kiri jalan, belum lagi yang di jalan-jalan bukan utama, yang tidak sempat anda lewati.

Bisnis berkembang begitu pesat, sebegitu pesatnya pula bisnis-bisnis yang siap gulung tikar. Hal ini disebabkan tentu saja karena kurangnya edukasi bisnis para pemilik, contoh konkretnya ya orang tua saya. Kesalahan siapa? Ya tentu saja kesalahan para pemilik tersebut, karena bisnis adalah perihal menanamkan uang tertentu untuk sebuah return, alias investasi. Dan bagaimana mungkin anda menginvestasikan uang anda pada sesuatu yang tidak anda pahami secara mendalam dan tidak anda yakini akan sukses (walaupun para pemilik nampak optimis). Ini sama saja seperti gambling bukan?

Hasil ngobrol dengan beberapa teman-teman Brand Associate di kantor, saya menjadi semakin yakin bahwa banyak sekali bertebaran para pemilik perusahaan yang dengan tanpa persiapan perencanaan yang matang, membuka bisnis mereka. Hal ini hasil dari kunjungan mereka ke beberapa perusahaan lokal, dan yang membuat saya sempat kaget pun, tidak hanya bisnis berskala kecil yang tidak memiliki perencanaan, tetapi hingga menengah dan bahkan skala besar. Saya mulai bisa menyimpulkan bahwa sekarang ini, terutama di kota-kota menengah seperti Bandung, Surabaya, Medan dan kota-kota lain yang sedang dalam tahap perubahan ke arah metropolitan, mengalami sebuah fase pergeseran pemahaman tentang sebuah bisnis. 90% klien yang kami tangani adalah perusahaan keluarga, dan dengan presentase yang sama, mereka menjalani bisnis mereka (sebelum mereka memutuskan untuk mengambil langkah perubahan dengan menghire kami) dengan instinct. Wow!

Dan di saat yang sama, fase perubahan pun terjadi di mana suksesi bisnis siap dilakukan, dan apakah si pewaris tahta siap mewarisi instinct yang telah diasah pendiri selama puluhan tahun? Rasanya tidak! Instinct tidak dapat diwarisi.

Lemahnya pengetahuan tentang bisnis, tentu saja semakin menjauhkan mereka dari makna diferensiasi yang sebenarnya, di mana diferensiasi adalah syarat untuk dicari oleh konsumen. Diferensiasi bisa dari hal apa saja, tetapi dengan syarat it is different, berbeda! Bisa dari produk, servis, konsep, lokasi, harga, atau apa saja. Diferensiasi bisa dikatakan diferensiasi apabila mereka menjawab wants dari konsumen (lupakan needs karena sudah ketinggalan jaman! ). Ambil contoh anda mendirikan sebuah restoran, apa diferensiasinya pak? Tanya sang interviewer. Oooo.. steak di sini enak dee.. nga ada duanya, dagingnya langsung diimpor dan diolah oleh juru masak berpengalaman, disiram saos jamur yang harum dan rasanya pas. (pas dilidah siapa?!?!) jawab si owner. Oke.. sekitar seminggu yang lalu saya makan steak yang sama percis dengan yang ia deskripsikan (tapi menurut saya tidak enak, karena saya bosan dengan tampilan dan rasa steak yang so tipical, di mana pun itu), dan apa yang owner tersebut informasikan tentu saja tidak dikategorikan sebagai diferensiasi, karena konsumen bisa mendapatkan hal tersebut di mana-mana. Mungkin yang owner maksud specialites ya?

Dan saya yakin begitu banyak owner yang tidak bisa menjawab lagi apa diferensiasi dia setelah jawaban-jawaban sebelumnya kami gugurkan karena tidak tergolong diferensiasi. Itulah yang terjadi, di mana banyak pebisnis mengalami “kebesaran kepala” akan apa yang mereka anggap sebagai diferensiasi, padahal itu bukan salah satunya. Menjadi terlalu percaya diri adalah langkah kegagalan dalam menciptakan diferensiasi. Mari kita ambil beberapa contoh kasus perusahaan yang berhasil menciptakan diferensiasi (saya tidak akan membahas starbucks atau apple, karena pasti anda sudah hafal!). Mari kita obrolkan BreadTalk yang sering anda lihat atau kunjungi di Istana Plaza atau yang baru buka di Cihampelas Walk. Menurut anda apa diferensiasi dari BreadTalk? Tik tok tik tok.. your time is up! Ya apa? Oke ada yang menjawab konsep, kemudian apa lagi? Oke nama, kemudian suasana, kemudian rasa, dan seterusnya. Jawaban yang so tipical, mungkin bisa dibilang inilah yang membuat sense kita sangat dangkal dalam menganalisa sebuah diferensiasi. Semenjak lulus dari jurusan arsitektur, saya mengenal pola pengamatan yang baru yang dinamakan dengan Intense to the details! Dan inilah yang harusnya anda terapkan dalam analisa diferensiasi. Perhatikan tentang detail! Jawaban konsep terlalu luas, sehingga anda tidak bisa menangkap intisarinya dan menerapkannya dalam bisnis anda. Konsep harus dijabarkan lebih dalam, seperti :

Pertama. Roti di display tidak di kaca seperti di Holland Bakery, tetapi di tengah-tengah ruangan sebagai center of point di mana anak-anak akan bersenang-senang di dalam toko, melihat roti-roti yang sangat dekat dengan mata dan hidung nya hingga ia bisa mencium aromanya, tidak seperti roti yang terpenjara di dalam kaca takut dipegang anak-anak, hingga tidak membuat anak-anak tersebut tertarik karena tidak tercium aromanya.

Display roti di tengah dan terbuka adalah diferensiasi yang pertama.

Kedua. Seperti apa sih bentuk toko roti “jadoel” yang terbayang? Rak kaca di sekeliling toko, dengan kasir di bagian belakang. Tapi BreadTalk? Kasir selalu pada posisi paling strategis yang bisa dilihat dari depan toko, dengan space antrian yang sengaja dibuat kecil, sehingga antrian akan makan area depan toko dan semua orang akan menengok pada saat lewat, karena mereka ingin tahu ini antrian apa, dan mereka menjawab dalam pikiran mereka : ini antrian BreadTalk (it’s one of the brain wash activity!)

Kasir di depan, menciptakan antrian hingga ke jalan, adalah diferensiasi yang kedua.

Ketiga. Pernah makan roti waktu kecil? Apa yang anda bayangkan tentang roti pada waktu kecil? Hanya ada 4 kategori : roti manis kosong, roti meses, roti keju dan roti isi daging. Tapi BreadTalk membuat makan roti yang begitu membosankannya menjadi hal yang menyenangkan, dengan hiasan yang lucu, menarik dan menggiurkan (slurrppp) dan penamaan yang juga setema dengan bentuk, seperti Love Boat (uuu.. so cute!). Saya rasa tidak hanya anak kecil yang merengek minta dibelikan. Jangan terlalu naĂŻf ini adalah sebuah temuan besar, karena di luar negeri konsep seperti ini sudah lebih dulu ada (salah satu tips kesuksesan berbisnis di dalam negeri adalah mengadopsi konsep luar negeri, dan orang Indonesia yang katanya cinta budaya, kenyataannya tergila-gila pada apa saja yang berbau modernisasi!)

Inovasi variasi roti adalah diferensiasi yang ketiga.

Keempat. Dan yang terakhir yang sering dibahas di berbagai media adalah the open kitchen. Yang masuk dalam jawaban “suasana”. Tapi jika anda terpatok pada jawaban suasana, anda tidak akan menemukan hal apa yang bisa diadopsi. Detailkan kembali suasana tersebut, seperti contohnya open kitchen. Hal yang bisa diadopsi dari sini adalah memunculkan sebuah “show”, di mana pada saat ke sana orang tidak hanya membeli roti, tapi bagi mereka yang masih agak “norak” mereka bisa melihat proses pembuatan roti yang menarik. Nah mungkin anda bisa mengadopsi “menampilkan show sampingan” dalam bisnis anda. Misalnya yang ga berhubungan, anda punya bisnis jual sepatu, mengapa tidak menampilkan workshop pembuatan sepatu kepada para pembeli, bahkan bisa jadi menarik pihak-pihak sekolah untuk mendatangkan muridnya, mempelajari bagaimana proses pembuatan sepatu. Dst.

The open kitchen adalah diferensiasi yang keempat

Untuk lebih mudahnya, seperti yang sudah sering kita pelajari, diferensiasi terdiri dari Content, Context dan Infrastructure. Saya tidak akan menjelaskan terlalu detail, karena ini adalah teori MarkPlus yang sudah sangat terkenal (nanti anda malah bosan membaca saya mengulang perkataan mereka) dan anda bisa membaca selengkapnya di buku mereka. Yang ingin lebih ditekankan di sini adalah pemahaman yang lebih implementatif dari pemahaman dasar tersebut. Apa yang bisa anda implementasikan secara riil dari content, context dan infrastructure dalam bisnis anda.

Ada 1 hal penting lainnya yang seringkali dilupakan, dan mungkin ini adalah salah satu penghambat bisnis anda, yaitu aktivitas selanjutnya yang harus dilakukan setelah anda menemukan diferensiasi.





Kotak No. 1 (Communicate your differentiation) memperlihatkan era terdahulu di mana konsumen mencari kebutuhan mereka, dan produk yang tercipta yang masih ada hingga sekarang menjadi ordinary products. Setelah konsumen memasuki fase yang kedua yaitu mereka telah menemukan banyak produk yang memenuhi kebutuhan mereka, mereka mencari produk yang memenuhi keinginan mereka. Pada era ini, produk harus menciptakan sebuah diferensiasi yang mengarah pada keinginan konsumen, dan menjadikan produk extraordinary. Keberhasilan sebuah diferensiasi tidak berhenti sampai disini. Tetapi lihatlah garis yang menghubungkan antara extraordinary products dengan customers, di mana garis ini harus diciptakan. Melalui apa? Melalui aktivitas komunikasi. Jika anda memiliki produk yang luar biasa tapi tidak ada yang mengetahuinya maka produk anda tidak akan dibeli. Berbeda dengan sebaliknya jika anda memberitahukan kepada konsumen yang membutuhkan produk luar biasa tersebut, produk anda akan habis terjual dan pesaing akan iri terhadap anda. Dengan begitu banyaknya pesaing, menuntut bisnis anda untuk lebih agresif dan membuat sebanyak mungkin pemasaran, baik yang sifatnya pull maupun push. Hal ini harus dilakukan jika memang anda tidak ingin menutup usaha anda 1-2 tahun ke depan.

Contoh kasus terakhir yang ingin saya kemukakan di sini, mengenai salah satu restoran yang baru-baru ini salah satu Brand Associate kami kunjungi. Mereka memiliki produk yang sangat unggul dikategorinya. Usianya memang sudah terbilang lama, tapi untuk kurun waktu yang sangat lama tersebut, Brand Equitnya tidak memiliki value yang signifikan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan beberapa post comments yang beredar di dunia maya yang berisikan orang-orang yang senang share tentang kuliner yang mereka coba. Dan nama ini menjadi salah satu yang memiliki value positif dan bahkan luar biasa. Kasus ini merupakan salah satu ketidaksadaran pengelola akan pentingnya mengkomunikasikan sebuah diferensiasi. Lemahnya komunikasi tentang diferensiasi ini membuat bisnis tersebut jalan di tempat selama 10 tahun. Anda tidak ingin bisnis anda mengalami hal serupa kan?

4 pertanyaan terakhir saya:

1. Apa diferensiasi dari bisnis anda?
2. Apakah diferensiasi tersebut adalah “benar-benar” diferensiasi?
3. Apa diferensiasi anda menjawab keinginan konsumen?
4. Apa anda telah mengkomunikasikan diferensiasi anda?