Jun 22, 2009

Peta Pemasaran Capres dan Cawapres

Menarik sekali memperhatikan kampanye dari para capres kita belakangan ini. Sepertinya perkembangan dunia politik di tanah air menuntut pengembangan strategi dari masing-masing tim sukses dalam “memasarkan” produk mereka yaitu para pasangan capres dan cawapres. Pada dasarnya sekarang ini selama masa pemilu, masing-masing kandidat sedang “menjual” diri mereka sendiri, tentunya yang semakin menarik adalah adanya pola-pola pemasaran yang mereka gunakan termasuk di dalamnya dalam menentukan siapa target market mereka yang sebenarnya.

Nampaknya jika dilihat di permukaan, seorang presiden tidak memiliki target market, karena mereka dipilih oleh semua orang di negara ini. Tetapi hal tersebut tentu pemahaman yang salah dalam langkah pemasaran, karena nyaris tidak ada strategi yang berhasil tanpa adanya pemilihan target market secara fokus, karena masing-masing kelompok target market memiliki hal-hal yang wajib kita penuhi dan tentunya memiliki ekspektasi yang berbeda-beda. Bukan saja ekspektasi lho! Bahkan bahasa yang kita gunakan juga dalam menyampaikan berbagai value produk kita haruslah berbeda. Jadi misalnya saja contoh yang paling kontras adalah Bu Mega dan Mas Prabowo yang menjadikan wong cilik sebagai target market mereka, menggunakan bahasa yang sederhana dan strategi mengedepankan isu-isu usaha kecil yang dapat dengan mudah diterima dan didukung oleh para wong cilik yang sebenarnya. Jadi Anda tahu kan betapa dominannya ilmu pemasaran dewasa ini? Hingga dunia politik pun bergantung pada ilmu pemasaran!

Kali ini akan lebih dalam diulas mengenai strategi pemasaran pasangan Capres dan Cawapres SBY dan Boediono, dari mulai pemilihan target market hingga strategi komunikasi yang mereka implementasikan.

Langkah paling awal dalam menyusun strategi pemasaran adalah memilih target market yang akan kita bidik. Tanpa memilih dan menentukan secara spesifik criteria seperti apa yang akan kita sasar, akan sangat sulit menentukan langkah-langkah selanjutnya, karena seluruhnya berhubungan dengan kondisi dari target market tersebut. Berikut di bawah ini merupakan gambaran secara sederhana mengenai 2 target utama yang dibidik oleh SBY-Boediono.

Dalam lingkungan masyarakat kita, 2 lingkungan yang memiliki besaran dominan adalah lingkungan tempat tinggal kita dan lingkungan perekonomian. Dilihat dari 2 lingkungan tersebut, diambil figur paling dominan dari masing-masing. Untuk lingkungan tempat tinggal, figur paling dominan adalah wanita, sedangkan di lingkungan perekonomian, yang paling dominan adalah para pebisnis.

Jadi saya simpulkan 2 target market utama yang menjadi fokus aktivitas komunikasi SBY-Boediono adalah :

1. Wanita , Latar belakang pemilihan :
  • Wanita sebagai figur yang mendominasi keputusan dalam keluarga, yang berkembang dalam masyarakat
  • Wanita memiliki sensitivitas yang tinggi dan mudah dipengaruhi dari sisi emosional
  • Wanita memiliki kemampuan penyebaran WOM dari segi kualitas dan kuantitas yang paling tinggi dibandingkan pria
  • Wanita merupakan kelompok dengan loyalitas yang tinggi selama tidak ada kekecewaan yang muncul dalam diri mereka (tengok kasus AA Gym)
Cara mengambil hati target market :
  • Dengan mengedepankan komunikasi mengenai lingkungan keluarga, menjadikan SBY sebagai “idola” baru para wanita (terutama ibu-ibu) yang mendambakan seorang pemimpin bangsa yang dapat memulai jiwa kepemimpinannya dari kelompok terkecil yaitu keluarga.
  • Berbagai liputan dan ekspos yang dilakukan terhadap keluarga SBY bukan merupakan untuk meningkatkan brand awareness saja, tetapi juga mengambil hati target market mereka yaitu para wanita. Karena sisi emosional yang dikomunikasikan melalui citra keluarga yang bahagia dan figur kepala keluarga yang ideal menjadi harapan bagi para wanita tersebut untuk kemudian jatuh hati dan mendukung SBY.
2. Pebisnis, Latar belakang pemilihan :
  • Pebisnis merupakan jantung bergeraknya perekonomian di suatu Negara
  • Pebisnis memiliki jaringan yang sangat luas, yang memudahkan persebaran informasi di kelompok mereka sendiri
  • Pebisnis memiliki hubungan yang solid, jika 1 memihak pada seseorang, kemungkinan besar seluruh jaringannya pun akan melakukan hal yang sama
  • Dalam menjalankan roda pemerintahan, salah satu pihak yang memiliki andil besar dalam mendukung program pemerintah adalah para pebisnis
  • Pebisnis memiliki dana dukung yang besar dan merupakan pihak yang perlu “diambil hatinya”
Cara mengambil hati target market :
  • Dengan memilih Boediono sebagai wakil presiden SBY, merupakan salah satu langkah besar untuk mengambil hati para pebisnis. SBY menyadari latar belakangnya yang sangat minim dalam peran serta di dunia ekonomi, melihat sebegitu besarnya peluang JK dalam mengambil hati para pebisnis. Diambilnya Boediono sebagai wakil presiden SBY membuat para pebisnis berpikir 2x untuk tidak berpihak pada SBY, mengingat Boediono memiliki track record yang brilian di dunia ekonomi. Cara lainnya pula adalah dengan terus memaparkan pemahaman ekonomi dan strategi yang akan diimplementasikan ke depannya. Dengan tidak menutupnya unsur globalisasi dalam berbagai ulasan ekonomi mereka, bahkan dengan memanfaatkan globalisasi tersebut, semakin membuka peluang pebisnis untuk mengembangkan kondisi bisnis mereka.
Dapat Anda amati sendiri bagaimana janji dan cara berkomunikasi yang mereka lakukan adalah untuk merangkul 2 kelompok utama sebagai sasaran penyebaran WOM positif selama masa kampanye ini. Dibandingkan dengan pola pemasaran kampanye terdahulu, atau pasangan lain, SBY-Boediono menggunakan sudut pandang pemasaran yang lebih modern. Dengan tidak melakukan segmentasi berdasarkan agama atau kelas ekonomi, tetapi berdasarkan gender dan peran serta di perekonomian, menjadikan cakupan WOM positif dan value yang mereka bangun lebih cepat tersebar di masyarakat.

Jadi dari pola pemasaran tersebut ada beberapa hal yang dapat kita pelajari :
  • Cari peluang segmentasi yang berbeda dari yang sebelumnya Anda lakukan atau para pesaing Anda lakukan
  • Tetapkan target market pada beberapa kelompok utama yang menurut Anda memiliki potensi terbesar dalam purchasing produk Anda
  • Jangan lupakan positioning dan diferensiasi yang Anda tekankan sesuai dengan target market yang Anda bidik
  • Dan yang terakhir adalah jangan lupakan “cara bicara” Anda harus sesuai dengan bahasa target market yang Anda bidik, hal ini tercermin dari berbagai media promosi yang Anda gunakan dan pesan yang ada di dalamnya
Mmhh.. lalu siapa ya yang akan memenangkan pertarungan “pemasaran” pasangan capres dan cawapres ini?? Haha, ini opini iseng saya ajah, tentang siapa yang saya pilih tentu menjadi rahasia saya dan siapapun yang menang semoga mampu dan berkomitmen untuk memenuhi janji-janjinya.
Corporate Value
Pajangan atau Junjungan?


Apa salah satu pekerjaan yang paling sulit sebagai bisnis partner perusahaan, celetuk salah satu sahabat saya ketika sedang menikmati dinner bersama, hmmm, hampir semua sebetulnya sulit karena karakeristik bisnis setiap klien berbeda namun jika boleh mengungkapkan satu hal yang paling sulit yang selama ini saya tangani mungkin implementasi Corporate Valueslah jawabannya. Yah setelah saya pikir-pikir inilah pekerjaan yang paling nyita pikiran dan waktu dalam implementasinya karena melibatkan seperangkat nilai yang bisa dikatakan abstrak dan sejumlah orang yang punya sikap dan prilaku yang juga unik dan berbeda-beda.

Corporate Values, kata yang sederhana, sangat sering diucapkan di perusahaan dan jika Anda datang ke sebuah kantor pasti hampir dipastikan Anda melihat poster yang bertulisan corporate values di perusahaan tersebut, ditempel di ruang meeting atau tamu, dengan gambar yang indah dan ditulis dengan hurup yang besar dan kadang jumlahnya bisa sampai 10 corporate values. Yah tidak salah memang, namun kemudian yang jadi masalah adalah ketika hal tersebut hanya menjadi sebuah tulisan tanpa implementasi yang jelas baik dari sisi ekternal maupun internal perusahaan.

Di sebuah kantor saya pernah membaca sebuah corporate value yang bertuliskan “Konsumen Adalah Raja” namun sejujurnya saya tidak merasa diperlakukan seperti raja, dan maaf kalo boleh dibilang perlakukannya malah seperti kepada rakyat. Dalam hati saya mananya yang konsumen raja? Omong kososng doang ternyata, graphis dan copywritingnya sih udah ok cuma implemetasinya berbanding terbalik 180 derajat dengan semua yang saya baca.

Salah satu manager yang pernah saya jumpai dalam seminarpun memberikan sharingnya dimana beliau sudah hampir dua tahun mencoba untuk menerapkan corporate values di dalam perusahaan dan sampai hari ini tetap belum bisa diterapkan dengan sempurna karena manusia itu unik katanya. Belum lagi bila turn over perusahaan cukup tinggi yang menyebabkan terus berubahnya orang-orang yang berada di dalam perusahaan.

Ok mari kita coba diskusikan, mengapa corporate values cukup sulit diterapkan dan atau kadang malah gagal diterapkan di dalam perusahaan?

1. Sikap dan Prilaku Manusia
Yah ini yang paling menantang sekaligus rintangan yang paling sulit bagi penerapan corporate values sebuah perusahaan, Manusia. Rasanya kita semua bisa mengerti mengapa manusia adalah tantangan yang paling sulit dalam penerapan corporate values di dalam perusahaan, sederhananya mungkin karena kita diberikan anugrah pikiran sehingga tidak bisa dengan mudah dipengaruhi apalagi diminta untuk berubah. Prilaku dan sikap yang terbentuk di dalam diri seseorang kadang sudah sangat mengakar dan tidak dapat diubah dalam waktu singkat disesuaikan dengan corpotate values yang diinginkan oleh perusahaan.

2. Perangkat aturan yang tidak mendukung
Kadang dalam pembuatan corporate values perusahaan tidak menyiapkan atau tidak siap dengan perangkat aturan pendukung di mana nantinya corporate values tersebut bisa diterap secara efektif dan betul-betul bisa menjadi sebuah nilai di dalam perusahaan. Katakanlah ketika perusahaan menginginkan disiplin sebagai bagian dari nilai perusahaan, seharusnya perusahaan sudah menyiapkan aturan-aturan yang diperlukan agar nilai disiplin ini bisa diterapkan dan menjadi nilai bagi perusahaan. Untuk beberapa hal bisa saya katakana, adalah omong kosong jika penerapan corporate value tidak diikuti oleh seperangkat aturan yang mendukung.

3. Komitmen dari manajemen
Nah ini juga bisa dikatakan salah satu factor yang paling berpengaruh terhadap sulitnya atau bahkan ketidak susksesan perusahaan dalam membangun corporate value. Yah Anda mungkin yang pernah mengalami atau melihat akan senyum-senyum membaca hal ini karena inilah mungkin yang paling sering terjadi, bahwa corporate value dibahas habis habisan, dibaut makna yang luar biasa dengan kata-kata yang menawan lantas di graphiskan oleh designer dengan pendekatan atau bahkan konsep disain yang luar biasa, disimpan di seluruh dinding perusahaan, kemudian berakhir menjadi pajangan yang kita sama-sama tertawa bila melihatnya, “ah biasa, kerjaan bos”.

Komitmen dari manajemen puncak adalah kunci keberhasilan penerapan corporate value, bila manajemen memiliki komitmen kuat untuk melaksakannya makan apapun yang menjadi halangan bisa dieliminasi satu per satu sampai tuntas. Bahkan kesulitan terbesarpun yaitu manusia bisa diantisipasi dengan perangkat aturan yang jelas sehingga setiap orang bersikap dan prilaku sesuai dengan corporate value perusahaan.

Lantas pertanyaan berikutnya bagaimana membangun corporate value perusahaan dan bagaimana melakukan penerapan corporate values di dalam perusahaan?

1. Seperangkat Nilai yang Sesuai
Buat corporate values yang sesuai dengan nilai yang ada di dalam perusahaan dan juga sesuai dengan karakter pekerjaan dan lingkungan di dalam perusahaan tersebut. Sederhananya, jika Anda punya pabrik, memperkerjakan ribuan atau bahkan ratusan karyawan dengan pekerjaan yang itu-itu sajah maka adalah hal konyol jika anda kemudian membuat corporate value yang merujuk pada kreatifitas, mengapa? Yah tentu kreatifitas adalah hal penting, namun untuk pegawai pabrik dimana pekerjaan yang sama yang selalu berhubungan dengan proses ataupun mesin, untuk apa kreatifitas dijadikan nilai? Boro-boro memikirkan kreatifitas, waktu mereka mungkin habis untuk mengerjakan hal berisifat rutinitas yang sangat penting bagi perusahaan (memisahkan barang rejected misalnya) dan untuk itulah memang perusahaan membutuhkan mereka. Disiplin, mungkin merupakan corporate value yang cocok untuk mereka dan disinilah kemudian corporate value bisa dibangun efektif karena dibangun dari seperangkat nilai yang sesuai dengan lingkunga kerja karyawan.

2. Komitmen pimpinan dan komitmen bersama
Yah sekali lagi, ingin berhasil atau tidak kunci utama adalah komitmen untuk membangun corporate value ini khususnya dari pimpinan-pimpinan perusahaan. Dengan komitmen, pimpinan perusahaan bisa membawa nilai-nilai yang ingin dibangun menjadi bagian dari diri mereka sehingga karyawan lainnya akan melihat contoh kongkrit bagaimana nilai-nilai yang diharapakan diimplementasikan dan menjadi bagian dari sikap dan prilaku setiap orang.
Komitmen pimpinan ini juga akan mendorong penciptaaan aturan yang bisa digunakan untuk menjadi menjadi bagian dari menyukseskan penerapan corporate value ini, Anda bisa bayangkan tanpa komitmen ini, bagaimana mungkin corporate value bisa berhasil diterapkan?

3. Menciptakan seperangkat alat aturan
Kadang corporate value yang ingin dibentuk membutuhkan perangkat aturan tambahan atau yang disesuaikan sehingga penerapannya bisa efektif dan realistis untuk dilaksanakan. Ambil contoh, ketika perusahaan ingin menerapkan disiplin sebagai corporate values perusahaan maka perusahaan tersebut membutuhkan seperangkat aturan dimana disiplin ini bisa diterapkan secara efektif seperti absensi. Dengan absensi Anda bisa berharap bahwa nilai-nilai disiplin yang ingin diterapkan dapat dilaksanakan secara efektif dengan mengukur dan mempelajari tingkat absensi karyawan perusahaan cotohnya.

4. Seperangkat Alat Ukur
Nah ini mungkin akan paling jarang diterapkan oleh perusahaan atau bahka mungkin cukup banyak yang tidak mengerti bahwa hal inilah yang bisa memperlihatkan apakah nilai-nilai yang ingin dibangun sudah betul-betul menjadi nilai yang diharapkan oleh perusahaan secara kuantitatif. Mungkin Anda bisa melihat perubahan sikap dan prilaku yang sesuai dengan nilai perusahaan, namun tetap sajah akan menjadi pertanyaan apa ukurannya? Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa nilai-nilai pelayanan sudah menjadi nilai di dalam perusahaan tanpa alat ukur?

Alat ukur digunakan untuk memastikan dan menjadi acuan dalam pelaksanaan corporate value adalah hal yang sangat penting. Dengan alat ukur anda dapat melihat sejauh mana pelaksanaan sudah berjalan sesuai harapan dan apakah corporate value yang dibangun bisa dikatakan berhasil atau tidak. Yah tentu membuat alat ukur ini bukan perkara mudah karena banyak factor yang mempengaruhi bagaimana cara perusahaan mengembakan alat ukurnya seperti target kerja, lingkungan kerja dan kondisi kerja sehari-hari. Tapi intinya, Anda harus mengembangkan alat ukut yang sesuai untuk dapat mengukur dengan betul nilai yang ingin diterapkan.

5. Pengukuran secara berkala
Setelah memiliki alat ukur, maka tugas dari seluruh pimpinan melakukan pengukuran secara berkala terhadap nilai yang ingin dibangun oleh perusahaan. Lalu mungkin pertanyaannya siapa mengukur siapa? Yah secara sederhana bisa saya katakan pimpinan mengukur bawahannya dan seterusnya berjenjang menurut jabatan. Ada beberapa teknik lain mungkin yang bisa dikembangkan untuk melakukan pengukuran ini sesuai dengan nilai yang ingin dibangun, namun pada intinya kita harus melakukan evaluasi dan pengukuran secara berkala untuk dapat mengukur perkembangan dari penerapan nilai ini agar perusahaan tahu sudah sejauh mana nilai-nilai yang ingin dibangun sudah menjadi bagian dari diri setiap karyawan.

6. Komunikasi/ Couching
Penerapan corporate value mungkin bisa kita katakan adalah tentang bagaimana seperangkat nilai menjadi dasar dalam sikap dan prilaku setiap orang di dalam perusahaan. Aturan mungkin bisa dibuat dengan ketat, alat ukur mungkin bisa dibuat dengan sangat detail, namun hanya sentuhan manusia yang memiliki nilai yang paling kuat untuk dapat membuat sikap dan prilaku seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan. Karena itulah komunikasi dan coaching menjadi salah satu kunci penting di dalam keberhasilan penerapa corporate value perusahaan.

Katakanlah nilai seorang karyawan sangat buruk setelah dilakukan pengukuran, maka tugas seorang pemimpinlah yang akan berusaha memberikan arahan, nasihat dan dukungan untuk si karyawan memperbaiki sikap dan prilaku yang sesuai dengan harapan perusahaan, coba bayangkan jika si pemimpin tidak suka melakukan komunikasi dengan bawahan dan tidak berusaha untuk selalu memberikan arahan dan bimbingan tentang bagaimana bersikap dan berprilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perusahaam?

7. Program-program pendukung
Yah untuk bisa lebih menanamkan corporate value di seluruh anggota perusahaan, ada baiknya dibuat juga program-program yang sesuai dengan corporate value tersebut. Program-program pendukung ini tentu banyak sekali jenisnya dan yang terpenting adalah sesuai dengan nilai tersebut seperti outbond, visiting, seminar, gathering, social activity dan sebagainya. Jika Anda ingin menamkan nilai saling mengasihi di dalam perusahaan Anda, yah cobalah buat program-program yang membangkitkan semangat saling mengasihi seperti kunjungan ke panti asuhan, bagi-bagi sembako di daerah tertinggal dan sebagainya.

Pertanyaan terkahir tentunya, apa ukuran keberhasilan penerapa corporate values di dalam perusahaan?

Sebetulnya sederhana jika dalam pemikiran saya, corporate values berhasil diterapkan jika setiap individu di dalam perusahaan sudah dengan sadar bersikap dan berprilaku sesuai dengan corporate values perusahaan. Jika kita mengatakan values perusahaan salah satunya adalah memberikan layanan terbaik, maka setiap frontlinner atau bahkan seluruh karyawan perusahaan akan memberikan standart layanan yang sama kepada konsumen perusahaan, misalnya dengan senyum yang tulus. Mau bagian gudang, bagian riset ataupun bagian manapun jika sudah bertemu konsumen akan memberikan senyum yang tulus, yah ini sederhananya.

Karena itulah saya katakana dari awal hal ini tulis, walaupun kita sudah mengembangkan seperangkat alat ukur dan setelah pengkuran ternyata nilainya bagus belum tentu implementasi di lapangan bisa sesuai dengan corporate values perusahaan, yah sekali lagi karena corporate values ini adalah masalah merubaha sikap dan prilaku, dan ini berarti Anda sedang mencoba merubah banyak manusia dan tentu sajah itu bukan perkara mudah. Namun ketika kita mampu, Anda akan mendapatkan hasil yang setimpal tentunya untuk kinerja bisnis Anda.

Pada akhirnya, tinggal Anda yang memutuskan, hal ini menjadi sekedar pajangan atau junjungan di dalam perusahaan Anda.
Strategy Perusahaan = Tipe Perusahaan


Saya sempat heran setengah mati saat ‘berkunjung’ ke kantor salah satu perusahaan makanan yang cukup terkenal namanya (dulu) di Bandung. Tidak ada yang tidak mengetahui perusahaan itu beberapa belas tahun yang lalu, siapun yang berkunjung ke Bandung pasti membeli oleh2 disana. Coba tanyakan pada Mama-Papa atau Eyang kamu sekalian ,saya yakin banyak dari mereka yang tahu tentang brand itu. Itu dulu! Sekarang? Coba tanya ke teman-teman sepantaran kamu, mungkin hanya beberapa orang yang mengetahui brand tersebut. Terjadi lost generation yang sangat saya sayangkan. Tapi mau bagaimana lagi, perusahaan ternyata mempunyai strategy tersendiri dalam menjalankan usahanya. Strategy yang menurut saya sebagai bagian dari target market mereka (saya belum bicara sebagai konsultan branding lho ya!;p), “sayang banget!”.

Bukan bermaksud membanding-bandingkan jika saya jadi penasaran ‘melihat’ strategy yang digunakan Mc. Donalds dalam menjalankan usahanya. Yah memang benar bahwa Mc. D tidak berdiri sejak jaman penjajahan, tapi bisa dibilang dia adalah pemain lama yang terbukti mampu bertahan dan justru makin berkembang seiring perkembangan jaman. Kenapa perusahaan makanan yang saya maksud di atas tidak mampu mempertahankan market share-nya seperti Mc.D ya? No-no…ini bukan masalah uang, bukan masalah budget promosi dsb yang dimiliki oleh perusahaan, ini adalah masalah strategi. Perusahaan harus mempunyai strategy dalam mengorganisasikan perusahaan/ bisnisnya.

Secara garis besar, Snow & Miles pernah mengemukakan bahwa perbedaan strategy perusahaan dengan perusahaan yang lainnya didasarkan pada bagaimana perusahaan harus me-manage market share-nya, bagaimana perusahaan mengimplementasikan solusi yang didapat untuk itu, dan bagaimana perusahaan me-manage dua hal diatas secara structural. Dari jawaban-jawaban tersebut pada akhirnya akan terbentuk tipe-tipe perusahaan dilihat dari tipe strategi yang mereka gunakan.

Defender
Tipe ini adalah tipe perusahaan yang berada di industry yang mature. Mereka biasanya menggunakan strategi yang melindungi posisi pasarnya melalui produksi yang efisien, control yang kuat pada mekanisme, berkelanjutan, dan dapat dipercaya. Karena berada di ‘posisi’ aman, maka mereka cenderung “defensive” untuk mempertahankannya, maka dari itu disebut defender. Semua permasalahan dalam perusahaan akan mereka usahakan sesegera mungkin diatasi tanpa membutuhkan pengeluaran yang berlebihan.

Prospector
Tipe perusahaan yang lebih menekankan pada eksploitasi kemungkinan yang baru, mengembangkan produk atau jasa baru, dan juga menciptakan pasar yang baru (new market). Tentru saja untuk mencapai semua itu core skills yang dimiliki haruslah setara dengan kemampuan marketing yang kuat dalam menjual dan R&Dn akan memperluas range tipe produk dan teknologi yang digunakan perusahaan. Sesuai dengan namanya, perusahaan tipe ini giat mencari prospek-prospek baru yang akan mempengaruhi perkembangan bisnis perusahaan. Tidak mengherankan memang jika perusahaan tipe ini dapat berkembang dengan cukup pesat dan cepat. Mereka pintar mencari dan memanfaatkan peluang yang ada.

Analyser
Nah kalau perusahaan yang ini sih tipenya cocok banget dengan namanya. Tipe ini akan cenderung menghindari kemungkinan resiko namun cukup ahli dalam men-deliver produk atau jasa baru milik perusahaan. Sebagai ‘penganalisa’, perusahaan ini mengkonsentrasikan diri pada range yang terbatas bagi produk dan teknologi yang dimilikinya. Bagus sioh, jadinya semua terkontrol dan berjalan pada ‘jalur’ yang ‘benar’. Namun hati-hati ya, terlalu analis juga tidak terlalu baik lho, bagaimana pun juga, dalam dunia bisnis, intuisi atau feeling ikut berperan serta.

Reactor
Lain lagi dengan tipe yang ini, perusahaan mempunyai control yang sangat kecil terhadap lingkungan eksternal perusahaannya. Mereka cenderung “terjebak” di kemampuan mereka dalam mengadaptasi kompetisi di luar sana, tapi sekaligus juga ‘terjebak’ dalam mekanisme kontrol internal yang mereka anggap sangat efektif (padahal belum tentu! Hehee!). Dengan sifat reactor-nya, perusahaan jadi tidak mempunyai strategy, design atau struktrur yang sistematis. Semua strategi atau aktivitas yang dilakukan ditentukan secara kondisional, sesuai dengan “pergerakan” pasar. Hati-hati lho, layaknya orang yang sangat emosional, ‘sifat’ seperti ini harus benar-benar dikontrol dan dimanage dengan cermat oleh management, supaya tidak salah langkah gitu lho!;p

Pada akhirnya semua strategi yang membentuk tipe-tipe perusahaan di atas harus dapat dipahami agar kita tahu bagaimana harus ‘bersikap’ dan dapat menjalankan bisnis kita dengan baik dan sesuai. Seperti kata Snow & Miles, sesungguhnya sih tidak ada strategy yang paling baik atau paling buruk. Toh semuanya disesuaikan dengan visi-misi-goals perusahaan, terutama dengan kultur atau situasi perusahaan itu sendiri. Tapi jika perusahaan mampu memahami stategy yang tepat dan menjalankannya dengan baik, saya sih yakin 100% bahwa tidak akan ada tuh kejadiannya ‘lost generation’ seperti yang dialami toko makanan yang saya singgung di awal tadi. Malah saya berharap semua perusahaan bisa berkembang dan mempertahankan (bagus kalau sampai memperluas) market share-nya. Yah, kembali ke perusahaan lah yah. Gimana dengan perusahaan kamu? Masuk tipe yang mana nih?

Jun 21, 2009

Loyal Customer = More Profit


Beberapa waktu yang lalu saya membaca postingan salah satu member milis tersebut, dimana si anggota milis yang kecewa pelayanan salah satu hotel bintang lima di daerah Ibu Kota. Dalam postingnya ia mengeluhkan pelayanan yang tidak professional yang tidak sesuai dengan expektasinya terhadap hotel berbintang 5. Tanggapan dari anggota milis yang lain pun bermacam-macam, namun sebagian besar beranggapan kalau hotel bintang lima tidak seharusnya punya kualitas pelayanan seperti yang dikeluhkan.

Di lain kesempatan, adapula cerita dari seorang Ibu berkatitan RS International yang betul-betul membuat heboh dengan maraknya pemberitaan kasus ini. Cerita singkatnya sang Ibu mengeluhkan layanan dan tindakan dari RS tersebut yang membuat beliau merasa dirugikan sebagai pasiennya.

Bicara soal service, mungkin Anda sekalian sudah tidak asing lagi dengan yang namanya SERVQUAL, metode yang dikemukakan oleh Valerie A. Zeithamal, A. Parasuraman, dan Leonard L. Berry, dimana SERVQUAL merupakan teknik yang dapat digunakan untuk menunjukkan analisa gap antara service quality performance perusahaan terhadap service quality yang dibutuhkan oleh konsumen. Metode ini sering digunakan untuk peningkatan service quality dari perusahaan terhadap konsumennya. Metode SERVQUAL ada lima dimensi, yaitu :
  • Tangibles, merupakan dimensi yang mengacu pada fasilitas fisik, peralatan, staf, dan materi komunikasi.
  • Reliability. Kemampuan untuk menunjukkan servis yang dijanjikan perusahaan kepada konsumen secara dependen dan akurat.
  • Responsiveness. Kemapuan untuk menolong konsumen dan menyediakan layanan yang tepat.
  • Assurance. Pengetahuan dan kemampuan karyawan untuk memberikan trust dan percaya diri.
  • Empathy. Perusahaan memberikan perhatian dan pelayanan kepada konsumen.
Penggunaan SERVQUAL dapat diaplikasikan pada dua hal, yaitu :
  • SERVQUAL secara lebih luas dapat digunakan dalam sevice industries/industry-industri penyedia layanan atau jasa untuk memahami persepsi dari target mengenai kebutuhan akan servis. Dan untuk menyediakan pengukuran kualitas servis dari perusahaan.
  • SERVQUAL juga dapat diaplikasikan secara internal di dalam perusahaan untuk memahami persepsi karyawan terhadap kualitas servis, dengan tujuan untuk mencapai kemajuan dalam memberikan servis kepada konsumen.
Nah, dari pembahasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa servis merupakan hal yang krusial apalagi di jaman sekarang ini, dimana para konsumen banyak ditawari berbagai produk dan jasa yang ditawarkan oleh banyak perusahaan juga. Dalam hal ini, konsumen mempunyai hak untuk memutuskan, produk dan layanan yang seperti apakah yang paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan ekspektasinya terhadap perusahaan tersebut.

Dalam buku “Marketing In Venus” yang ditulis oleh Hermawan Kertajaya, di era sekarang ini, empati memegang peranan paling penting. Kenapa? Karena dengan empati, perusahaan bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada konsumennya dan ini sangat berguna dalam memberikan memorable experience kepada pelanggannya. Lagipula siapa sih yang tidak senang diberikan perhatian oleh orang lain?

Hermawan Kertajaya juga mengungkapkan bahwa ada relevansi antara empati dan servis. Dimana pemasar yang memiliki empati adalah pemasar yang mampu melihat situasi penjualan dari perspektif pelanggan, dengan tujuan untuk membantu si pelanggan mencapai kesuksesan. Pemasar seperti ini akan selalu berusaha untuk mendengar dan mencari apapun yang berguna bagi kesuksesan pelanggan dan piawai dalam menangkap respons pelanggan, baik positif maupun negative, walaupun tidak diungkapkan dalam bentuk kata-kata oleh pelanggan.

Lebih lanjut lagi, dengan memberikan kualitas servis yang baik akan juga membantu perusahaan untuk mencapai apa yang dinamakan loyalitas konsumen. Bagi konsumen yang puas dengan pelayanan sebuah perusahaan maka bukan tidak mungkin ia akan melakukan aktivitas word-of-mouth kepada teman-teman, keluarga, dan kerabatnya untuk menggunakan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan.

Bahkan bagi perusahaan yang peka terhadap pelanggan, maka ia akan senantiasa menjadikan konsumen tersebut menjadi konsumen yang loyal. Darimana konsumen yang loyal itu bisa diperoleh? Dari yang awalnya complain pun bisa menjadi konsumen yang loyal. Saya pernah membaca pengalaman seseorang yang tadinya sering complain terhadap layanan sebuah perusahaan. Tapi karena perusahaan tersebut memberikan pelayanan yang baik melalui karyawan-karyawannya, maka menjadikan orang tersebut sebagai pelanggan yang loyal bahkan merekomendasikan produk dan layanan perusahaan tersebut kepada kerabat dekatnya.

Maka, bagi perusahaan yang ingin konsumennya loyal berikanlah pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan, karena semakin loyal pelanggan anda maka mungkin akan semakin banyak profit yang bisa Anda peroleh dari mereka.

Jun 8, 2009

Cinta itu Memang Indah


Kalo Anda memperhatikan iklan Telkomsel akhir-akhir ini pasti beberapa dari Anda akan menyadari bahwa pendekatan iklan yang dilakukan saat ini sepertinya mengambil angle kreatif dari sisi Cinta. Saya sendiri ketika melihat iklan tersebut langsung membayangkan iklan Ponds beberapa waktu lalu yang juga menggunakan konsep Cinta serta beberapa iklan lainnya yang juga menggunakan cinta sebagai big ideanya seperti Conello, TImtam Crush dan beberapa iklan lainnya.

Di paman sam sana, Kota Philadelphia, untuk meningkatkan kunjungan tourist, Tourisms marketing Corporationnya mencipkatan pendekatan yang terbilang cukup unik dalam industry Tourist dengan mengadopsi cinta sebagai tema kampanyenya. Kapanye periklanan tersebut dinamakan "With love, Philadelphia," dimana Kota tersebut diibaratkan teman akrap lama yang menuliskan surat cintanya ke seluruh media yang mereka gunakan dan uniknya tema ini digunakan untuk promosikan apa saja mulai dari hotel sama museum seni di sana.. Yah ujung-ujungnya sih biar orang dateng, belanjam, nginep dan sebagainya, hanya saja pendekatan lebih diarahkan pada sisi emosional target marketnya.

Memang cinta itu Indah, sebuah kata yang mengandung sejuta makna dan arti. Konsep cinta mungkin salah satu konsep perikalanan yang paling universal yang digunakan oleh siapapun dalam membangun komunikasi dan mungkin bisa digunakan oleh produk atau perusahaan manapun. Kesetian kepada Merekpun tentu didasarkan oleh Cinta kita terhadap merek tersebut dan ratusan juta bahkan miliaran dana yang digelontorkan untuk melakukan kampanye beriklananpun rasanya salah satunya ditujukan untuk membangun kecintaan di dalam hati dan pikiran target market perusahaan tentunya.

Ok mari kita bahas dahulu mengapa Cinta itu sangat penting dan akan selalu menjadi sebuah tema yang akan terus kita lihat di dunia bisnis sekarang dan yang akan datang.

1. Cinta itu Abadi
Jika bicara sesuatu yang akan abadi mungkin cinta adalah salah satu yang akan terus abadi sampai akhir jaman. Segala sesuatunya berjalan dan bisa berjalan dengan Cinta dan cintalah yang membangun setiap detik dan detak jantung mahluk hidup manapun di dunia ini. Coba kita melihat pada awal adanyanya Manusia, Nabi Adam. Karena cintalah beliau kemudian diberikan oleh Tuhan kesempatan untuk menebus kesalahannya di Surga karena sudah mendengarkan bisikan Setan dan memakan buah kuldi yang dilarang oleh Tuhan (dan Karena cintalah (kepada Hawa) beliau terbujuk rayu untuk memakan buah tersebut. Yah semua dasarnya cinta dan inilah pesan utama yang mungkin ingin disampaikan oleh Yang Maha Kuasa kepada seluruh makhluknya.

Itulah sebabnya mungkin dari jaman dahulu dimana dan sampai saat ini dimana periklanan sudah demikian modernnya dan mungkin kelak puluhan tahun ke depan sampai akhir jaman, cinta masih terus dan akan relevan dan mendapatkan tempat sendiri untuk menjadi konsep dalam mengiklankan produk dan layanan sebuah perusahaan, yah tentu dengan konsep dan pendekatan yang berbeda-beda tergantung objectives dari iklan tersebut.

2. Sejuta Arti dan Makna
Mungkin inilah salah satu kelebihan yang membuat Cinta sebagai sebuah konsep tidak pernah basi mungkin sampai kapanpun karena Cinta memiliki sejuta arti dan makan. Tidak percaya, coba sajah lihat Film yang bertemakan cinta, mungkin kita akan kehabisan tempat di memori kepala kita untuk mengingat-ingat film apa saja yang bertemakan cinta, yah sangking banyaknya tentunya. Bagi industry per filman mungkin cinta adalah komoditas utama yang paling laku untuk dijadikan tema dalam membuat film, coba jika Horor hehehe, yah lagi bommingnya sih rame banget, sekarang? Bosen mungkin yah.

Pendekatan cinta menjadi sebuah tema yang sangat memacu kretifitas dalam menggarapnya karena kita bisa berkreasi dan menciptakan banyak ide dari cinta. Dan mungkin karena cinta merupakan sifat dasar seorang manusia (saya selalu yakin setiap orang lahir dengan cinta di hatinya), tema cinta membuat orang memiliki kreatifitas yang sangat beragam dalam memaknainya dan membangun konsep kreatif dengan pendekatan ini. 10 orang dengan kemampuan yang sama sekalipun sebagai seorang copywriter bisa menghasilkan konsep yang benar-benar berbeda jika tema dasarnya adalah cinta. Yah sekali lagi karena cinta punya sejuta arti dan makna sehingga sejuta konsep dan maknanyapun bukan tidak mungkin muncul bahkan untuk sejuta produk dan layanan yang ada.

3. Milik Siapa Saja
Yah cinta adalah kepunyaan setiap orang, cinta bersifat universal dan karena itulah tema cinta akan selalu bisa diterima oleh kalangan market manapun. Coba sajah bayangkan dan pikirkan, tema apa yang sifatnya betul-betul universal selain cinta dan bisa diterima oleh setiap orang? Karena itulah konsep periklanan di mana cinta dipilih untuk menjadi big idea di dalamnya merupakan pendekatan yang mungkin cukup sering digunakan dari dulu.

Mulai dari bantaran kali sampai gedung mewah setiap orang pasti memiliki cinta sehingga rasanya tidak ada yang keberata didekati sebuah produk atau layanan dengan cinta dengan “syarat tentunya”.
……………………………………

Nah kalimat di atas mungkin menjadi pertanyaan tersendiri, demikian universalnya cinta, milik siapa sajah dan abadi, namun kemudian mengapa “bersyarat”? Yah dibalik semua itu cinta pasti membutuhkan syarat dan inilah point menariknya, dari sisi periklanan (yah tentu topiknya sekarang iklan bukan tentang cinta dalam makna dan arti lain) Konsumen Anda membutuhkan syarat untuk dapat cinta kepada brand Anda dan hal ini tentu sangat wajar karena banyak sekali competitor yang juga akan berusaha agar brandnya dicintai oleh target marketnya.

Ok mari kita coba bahas satu persatu apa sajah syarat agar brand kita bisa dicintai oleh konsumennya? Hehehe mungkin secara sederhananya mari kita bayangkan apa yang membuat wanita bisa jatuh cinta kepada seorang laki-laki sehingga penting bagi setiap laki-laki untuk mengetahuinya.

1. Product It Self
Apakah barang anda menjawab needs and want or even expetasi dari si target market? Hal ini merupakan sebuah syarat yang amat sederhana, jika ingin dicintai maka jadilah bagian yang dibutuhkan oleh konsumen, kalo tidak butuh mengapa harus cinta?

Kebutuhan merupaka gerbang awal di mana cinta bisa ditumbuhkan di dalam hati konsumen, yah seperti pacaran ajah deh, pasti awal-awal khan produknya dulu yang dilihat heheheh, ganteng ga, tajir ga nih orang, cantik ga?, baik hati ga? Dan sebagainya yang berhubungan dengan produk dan atributnya, kalo ternyata apa yang kita cari (butuh) ada di dalam seseorang maka mulailah kita mencoba untuk mencintainya. Yah betul mencoba dulu dong hehehehe, produknya khan harus dibuktikan dulu untuk kemudian kita menjalin hubungan cinta jangka panjang.

2. Jangan Pernah Berbohong
Katakanlah sejujurnya, jangan pernah berbohong kepada konsumen mengenai produk dan atributnya karena begitu miss perception atau apalagi ternyata memang ketahuan produknya tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau diharapkan maka mungkin bencilah yang akan timbul, kalo sudah begini jangan berharap produk kita dicintai, dilirkpun mungkin tidak lagi.

Andapun misalnya dalam perpacaran pasti tidak akan suka khan bila tenyata kenyataan yang Anda temui sebelum dan sesudah jadian berbada dari yang Anda harapkan? Sebelum pacaran orangnya romantic banget, eh setelah pacaran ternyata cueknya minta ampun, jika sudah begini bagaimana kita bisa menciptakan loyalitas terhadap cinta kita?

Nah kembali ke iklan, walaupun dikemas dalam bahasa iklan kita sebagai pemilik produknya harus tetap memperhatikan nilai-nilai kejujuran dalam bahasa iklan kita, yah sederhananya katakanlah yang sejujurnya dengan cara yang se kreatif mungkin, jangan berbohong dengan melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi.

3. Pengorbanan
Yah ini salah satu syarat mutlak bila brand kita ingin dicintai, berkorban. Dalam hal apa? Yah banyak tentunya hehehe. Milsanya kita harus memastikan distribusi produk bisa menjangkau target market kita di desa sekalipun sehingga si konsumen jika sedang membutuhkan bisa mendapatkan produk kita dengan mudah. Berilah harga yang sesuai dan bisa dimengerti oleh konsumen sehingga mereka dengan senang hati membeli brand kita karena nilainya sudah sesuai dengan yang mereka harapkan. Cobalah hadir di mana saja konsumen kita berada dengan beriklan sehingga mereka akan selalu ingat dengan kita, berilah mereka diskon, berilah mereka member dan privilege sehingga mereka merasa dihargai oleh brand kita dan sebagainya.

Banyak sekali pengorbanan yang memang harus dilakukan oleh sebuah brand untuk dapat dicintai oleh konsumennya, namun dengan cinta konsumen perusahaan akan terus dapat hidup dan sejahtera karena cinta tersebut.

Ah memang, cinta itu indah. Mari beriklan dengan cinta.
Innovation for Other Innovation


Ditawari Blackberry second oleh atasan dengan harga yang murah membuat saya sempat “ragu” dengan niatan membeli handphone biasa (biasa = yang ada kamera 3,2 MegaPixel, ada MP4, ada radio, ada buat ngedit-ngedit foto, bisa internet-an, dll…biasa banget kan?;p). Di rumah saya mencoba berdiskusi dengan adik saya (yah jujur saja saya nggak begitu jago dalam hal per-gadget-an). Dia bilang kalau mau sih lebih bagus I-Phone, katanya multimedianya lebih komplit, kalau Blacberry kan enaknya buat keperluan bisnis. Hmmm…makin bingung saya!

Di jalan-jalan di Bandung saya mulai melihat ‘persaingan’ dua brand tersebut. Billboard di spot-spot utama, iklan di media massa, bundling dengan provider-provider kuat, dsb. Fiuh…lagi kenceng tuh! Saya suka jadi ‘amaze’ sendiri kadang kalau mengamati perkembangan gadget sekarang ini. Dulu saya salut sekali dengan system inovasi Nokia yang selalu mengeluarkan inovasi produk setiap 3 bulan sekali. Kemarin-kemarin saya lihat Sony Ericcson yang mulai gencar berinovasi dan mengeluarkan produk-produk baru dengan inovasi masing-masing. Sekarang ini sudah terbentuk “budaya” kompetisi yang akhirnya melahirkan inovasi-inovasi yang membuat konsumen merasa termanjakan karena ekspektasinya selalu “dipenuhi”.

Inovasi memang merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk dapat selalu memanjakan customer. Inovasi ini tidak hanya diaplikasikan pada feature produk saja, tapi juga di semua elemen bisnis, mulai dari inovasi servis, system management, dll, yang semuanya ditujukan demi terwujudnya perkembangan bisnis perusahaan. Hal inilah yang sekarang ini banyak menjadi focus perhatian banyak perusahaan (baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil). Kenapa? Karena inovasi juga menjadi diferensiasi yang kuat untuk merebut perhatian target market di tengah menjamurnya para competitor. Jika mau bertahan ditengah persaingan, inovasi memang harus menjadi bargain power yang kuat untuk ditawarkan.

Eiiitzz, tapi jangan pernah berpikir bahwa saat perusahaan kamu memiliki inovasi tercanggih yang tidak ada competitor manapun yang memilikinya, maka perusahaan kamu “aman” dan dapat “berjalan” tenang. Jangan salah, hari ini mungkintidak ada yang punya, tapi besok pasti sudah ada yang mengikuti! Hahaaa! Ini bukan masalah bajak-membajak, saudara-saudara, ini masalah “up to date”! Siapapun punya hak untuk mengadopsi inovasi siapapun juga selama legal! Menyebalkan sih, tapi dalam dunia bisnis, hal-hal seperti itu justru memperkaya situasi industry itu sendiri, malah ada pengkategoriannya segala lho!

Tidak mengherankan memang, seperti yang disebutkan di situs www.12manage.com mengenai Innovation Adoption Curve, ada beberapa kategori personil atau perusahaan yang berhubungan dengan pengadopsian inovasi ini.

1. Innovators
Ini dia sang trully innovator. Dia adalah orang atau perusahaan yang berani melakukan perubahan melalui inovasi-inovasi yang dibuatnya sendiri. Dia selalu focus memperhatikan jalannya bisnis perusahaan, mengamati trend (bahkan meramal tren masa datang) dan berpikir inovasi apa yang harus dilakukan untuk memajukan bisnisnya tanpa ‘terlindas’ competitor. Yang begini ini nih yang jadi sentral perkembangan bisnis, sekaligus “role model” para pembajak, eh, pengikut! Hehee!;p Tapi sayangnya, innovator kadang cenderung “semau-maunya” dalam berinovasi. Yah seperti ilmuwan kali ya, kadang suka “gila”, nggak masuk akal, dan revolusioner! Heheee!

2. Adopters
Kalau adopter ya mungkin kamu ngerti lah yah. Heee! Dia adalah orang atau perusahaan yang “kerjaannya” mengadopsi inovasi yang dibuat si innovator tadi. Walaupun begitu, dia sangat respectable, dan biasanya meruapakan opinion leader. Itu sebabnya saat dia mengadopsi inovasi yang sudah ada, dia tidak di cap sebagai “pembajak”. Dia punya posisi yang cukup kuat di pasar untuk itu. Mencoba ide-ide baru dengan cara yang lebih smooth dan ‘aman’ menjadi kunci keberhasilan si adopter ini. Beda sama innovator jadinya kan?

3. Early Majority.
Hampir mirip sama si adopter sih memang. Dia merupakan orang atau perusahaan yang sangat kuat, sama hati-hatinya dengan si adopter tapi cenderung lebih cepat dalam menerima perubahan maupun mengikuti inovasi dibandingkan kebanyakan orang atau perusahaan. Jadi sebelum yang lain ikut-ikutan, dia sih sudah duluan! Heheee! Nggak ada ceritanya dia nunggu-nunggu. Kelebihannya, walaupun dia pengikut, dia one step higher than majority, jadi konsumen juga akan lebih dulu “melihat” dia daripada para pengikut selanjutnya. Akhirnya ya kalau inovasi yang dia adopsi atau ikuti itu ok dan menarik hati konsumen, ya berarti dia untung lebih dulu!;p

4. Late Majority.
Judulnya saja sudah “late”, pakai “majority” pula! Heheee! Ini sih orang atau perusahaan yang cukup skeptic bahkan bisa jadi nggak peduli sama perubahan atau inocasi yang dilakukan orang lain. Ide-ide baru hanya akan digunakannya kalau sudah banyak orang atau perusahaan menggunakannya juga. Play save istilahnya mah! Yang ada di mind set dia, inovasi kalau sudah banyak yang mengikuti berarti ‘aman’. Rada susah yah kalau jadi tipe ini, telat terus!;p

5. Laggards.
Wih apalagi yang ini! Dia adalah orang atau perusahaan yang sangat tradisional. Ya layaknya nenek kita, kolot dan konservatif banget lah!(heheee, kualat nggak yah saya?;p) Dia sudah terpaku pada hal-hal yang sudah lama. Malah kalau ada ide atau inovasi baru dia cenderung kritis dan hanya mau menerima kalau ide atau inovasi baru tersebut telah menjadi tradisi. Duh, ribet ya? Heee! Susah nih kalau yang begini! Walaupun tujuannya mempertahankan originalitas dan membuat diferensiasi dari orang lain yang lebih ‘modern’, tapi bisa-bisa ketinggalan jauh di belakang tuh! Kalau kata anak gaul bilang sih “So last year banget deh lo!”. =D

Nah, sebenarnya terserah perusahaan sih mau jadi kategori yang mana. Semua kategori punya alasan tersendiri memang untuk diterapkan sebagai budaya atau arah perusahaan. Sesuaikan saja dengan situasi dan budaya perusahaan, jangan lupa merujuk pada visi dan misi perusahaan ya. Mau jadi innovator atau laggards sekalipun, jangan pernah “menutup mata” pada kategori-kategori yang lain, karena siapa tahu kamu tiba-tiba memutuskan untuk “pindah” kategori!=)
Orang Sales & Marketing Strategy


Minggu lalu saya diminta salah satu klien saya untuk datang dan memberikan briefing singkat mengenai marketing ke kantor pusat dan cabang yang baru saja diakuisisi oleh klien saya tersebut dari pemilik lamanya untuk kemudian cabang ini dijadikan semacam senjata utama untuk menggarap pasar yang ditidak bisa digarap oleh perusahaannya dikarenakan adanya aturan yang membatasi pembukaan kantor cabang baru, walaupun masih bisa dengan system tenaga pemasar lepas, namun dengan berdiri fisik kantor walaupun berbeda brand akan lebih maksimal dalam penggarapan pasarnya.

Mulailah perjalanan saya menyambangi tiga kota dalam tiga hari tersebut, di setiap kota saya minta semua tim marketing “baca: sales” dikumpulkan agar saya bisa share pengalaman bagaimana perusahaan yang baru saja mengakusisi mereka bisa menjadi perusahaan terbesar di Indonesia. Ok sedikit saya ulang lagi, perusahaan yang diakuisisi ini produknya sama persis dengan produk perusahaan utamanya, jadi semacam pesaing dulunya. Diskusi langsung saya buka dengan ada pertanyaan? Ha….ha tentu ini hanya trigger awal untuk memancing sedikit kebingungan dan gejolak karena saya tahu dengan persis pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakan mengenai informasi strategy sister company maupun strategy seperti apa yang harus dilakukan untuk bisa terus berkembang ditengah gempuran pesaing baik itu dari the real enemy maupun dari sisternya itu sendiri.

Seperti biasa trigger awal seperti ini biasanya hanya memancing kebingungan tanpa suara, apalagi bila seorang anak muda yang berdiri di antara puluhan orang dewasa he………he, untuk mencairkan suasana akhirnya saya mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana, “ok teman-teman ada berapa banyak penduduk daerah ini?” Jawabannya seperti yang saya duga, luar biasa hampir sebagian tidak tahu dengan persis berapa jumlah penduduk daerahnya sendiri. “ok kita ambil rata-rata pendapat audience bahwa jumlah penduduk sekitar 1,5 juta jiwa, next question berapa banyak yang bisa dikategorikan orang kaya? Tapi sebelumnya saya ingin Tanya apa kategori orang kaya?” Suasanapun langsung hening, sunyi senyap, entalah apa sedang berpikir atau sedang nge blank. Finally ada seseorang yang nyeletuk 30 persen mas, “dasarnya” lanjut saya? “wah ga tau mas, perasaan sih denger-denger segitu he….he”. Krik krik krik krik, giliran saya yang bengong he………he.

Permasalahan ini sangat sering saya temui di banyak perusahaan di mana driver utama dalam membuat sebuat strategi perusahaan sama sekali tidak memadai dan jauh dari data dan fakta yang sesungguhnya, bagaimana ingin menggarap pasar dengan benar jika jumlah garapannya sajah tidak tahu dengan betul? Berapa budget promosi yang ingin keluarkan? Kemana arah strategy promosinya? Berapa banyak tenaga salesnya? Coba gimana bisa menjawa pertanyaan tersebut dengan benar? Ini baru analisa dari kacamata customer, belum lagi bila analisa sudah memasukan factor competitor, company, change, wah wah bisa ga karu karuwan ini perusahaan dalam jangka pendek maupun jangka panjangnya.

Lantas bagaiamana sebaiknya? Apakah setiap marketing perusahaan “sales” harus mengetahui mengetahui mengenai data penduduk, atau lebih ditarik ke dalam lagi mengenai segmentasi dan marketing strategy secara keseluruhan? Saya tidak akan menjawab ya atau tidak bila ditanyakan hal ini sebetulnya karena ini HUKUMnya WAJIB, Cuma mungkin coba kita bertanya, apa ruginya bila tim sales anda mengetahuinya? Apa salahnya coba. Ada cukup banyak manfaat bila tim sales perusahaan mengetahui fundamental mapun teknikal mengenai marketing strategy.

Pertama, Sinergi.
Dibanyak perusahaan antara bagian penjualan dan marketing sering kali dipisahkan, yah beberapa untuk penyusunan strategy ini dilimpahkan kebagian promosi, konsultan, branding atau apapun itulah kita sebut namanya, intinya yang jualan di lapangan sama yang buat strateginya terpisah. Nah masalah kemudian kadang apa yang dibuat oleh bagian marketing menurut bagian sales tidaklah tepat dan sangat tidak aplikatif di lapangan. Sementara bagian marketing akan berkomentar sebaliknya bahwa bahwa bagian sales ini tidak mengerti stretagy secara keseluruhan.

Mengerti marketing akan membuat sinergi yang lebih efektif antara kedua bagian ini dan bahkan dengan kerjasama keduanya, data dan fakta lapangan yang didapat jauh lebih punya bobot sehingga strategy yang disusun dan eksekusi yang dijalankan di lapangan memiliki dampak yang lebih efektif untuk keberhasilan penjualan. Meminjam istilah dari pakar marketing, bahwa tim sales memiliki tank view, lebih tahu detail lapangan di mana dia beradah sementara itu marketing memiliki helicopter view yang bisa melihat kondisi lapangan jauh lebih luas namun seringkali tidak terlalu detail, bayangkan jika keduanya bergabung atau coba bayangkan jika keduanya bertindak sendiri-sendiri, siapa yang dirugikan? Yah tentu sajah pemilik perusahaan.

Kedua, Efektivitas Biaya.
Dengan pengetahuan yang baik dalam bidang marketing, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan penjualan produk bisa jauh lebih diefektifkan oleh bagian sales. Contohnya (sales asuransi katakanlah), jika sales tersebut mengerti konsep segmentasi, tentu ketika melakukan salescall dia akan mencari daerah perumahan yang elite yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk dijelaskan mengenai produk asuransi, dengan demikian si sales person tersebut dapat menghemat biaya telepon karena sudah melakukan segmentasi dengan tepat.

Contoh lain, sales sebuah perusahaan keuangan investasi katakanlah ingin melakukan aktivasi brosur (menyebar brosur), dengan mengetahui konsep segementasi, si sales tersebut akan melakukan pendataan terlebih dahulu daerah mana brosurnya akan menjadi efektif dan sesuai sasaran, dengan begitu jumlah brosur yang disebar memiliki probabilitas untuk berhasil lebih baik dan secara biaya bisa lebih efektif dan dipertanggung jawabkan.

Ketiga, A Pack of Idea
Entah ada korelasi atau tidak, sejauh ini kebanyakan yang saya temui, seorang sales dengan pengetahuan marketing yang baik jauh lebih banyak memiliki ide untuk produk menjual produknya. Yah “menjual” bukan terjual karena masalah “terjual” tidak hanya masalah marketing apalagi produk-produk yang sangat mengandalkan sales person untuk melakukan closing penjualan. Masalah “terjual” juga melibatkan skill dan knowledge di luar marketing, kepribadian penjual tersebut ataupun mungkin bisa dikatakan “takdir” orang tersebut hehehe.

Dalam hal ini kita membicarakan ide untuk membuat produk kita lebih banyak terjual dan tentu dengan pengetahuan marketing yang baik ide-ide yang dihasilkan ataupun kemudian di eksekusi memiliki acuan yang kuat dan memiliki kemungkinan untuk bisa berhasil dalam meningkatkan penjualan perusahaan. Apakah Anda menginginkan sebuah tim sales yang tidak memiliki inisiatif atau ide-ide yang segar agar produk perusahaan lebih banyak terjual? Saya sering beberapa kali mendengarkan pimpinan perusahaan mengeluhkan bahwa tim salesnya kurang inisiatif sehingga hasilnya selalu so so atau begitu-begitu saja, namun mungkin yang kurang disadari adalah tim tersebut mungkin bukan inisiatif tapi tidak tahu harus berbuat apalagi dan ini disebabkan oleh keterbatasan knowledge bukan karena mereka malas atau tidak ada inisiatif, pertanyaan sudahkah mereka diberikan pengetahuan mengenai marketing?

Mungkin kemudian akan muncul pertanyaan, apakah hal ini tidak buang-buang waktu? Yah tugasnya seorang sales yah jualan ajahlah sebanyak-banyaknya, ga usah pusing dengan urusan pengetahuan marketing strategy segala, ha….ha nah itulah masalahnya bagaimana menjual sebanyak-banyaknya jika pengetahuan tentang bagaimana menjual sebanyak-banyaknya tidak dikuasai? Atau coba lihat lagi manfaat ringkas di atas mengapa pengetahuan tentang marketing harus dimiliki oleh seorang sales. Akhirnya mari mulai ajarkan marketing kepada tenaga sales Anda.
MENJADI MARKET DRIVER
MELALUI BLUE OCEAN STRATEGY


Nada-nada yang minor….
Lagu perselingkuhan….
Atas nama pasar semuanya begitu cliché……. (Efek Rumah Kaca-Cinta Melulu)

Itulah sepenggal lirik yang dikumandangkan oleh Efek Rumah Kaca. Lagu yang berjudul “Cinta Melulu” ini dapat saya katakan merupakan lantunan kritik yang ditujukan pada pasar music Indonesia saat ini, yang didominasi oleh lagu-lagu cinta dan dibawakan oleh band-band yang mendayu-dayu. Fenomena ini bisa kita amati bersama, acara music seperti “Inbox”, “Dahsyaat”, “Derings”, dan sederet acara yang serupa memang kebanyakan didominasi oleh band-band yang membawakan lagu cinta, belum lagi banyak band-band baru yang hadir dengan karakteristik yang bisa dibilang serupa, kenyataannya pasar sangat menyukai mereka. Pasar sangat menyukai lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu. Yah wajar kalau Efek Rumah Kaca protes…..bagaimana tidak?Lagu mereka bukanlah lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu, lagu-lagu mereka tercipta dari sebuah idealism dalam berkarya.

Jadi kesimpulannya kalau mau jadi band yang diterima di pasar music Indonesia kita harus jadi band yang mendayu-dayu dengan obralan lirik-lirik bernuansakan cinta dan perselingkuhan?
Ya, itu tergantung kita, mau jadi market driver atau jadi market driven. Kalau jadi market driver berarti kita yang men-“drive” pasar, sedangkan kalau mau jadi maket-driven berarti kita yang di-“drive” oleh pasar. Kalau punya kreativitas dan mampu menjadi band yang out of the box sehingga bisa diterima oleh pasar, kenapa juga harus jadi market-driven?

Nah, sekarang apa kaitannya dengan Blue Ocean Strategy? Sebelum kita bahas lebih jauh lagi ada baiknya saya cerita dulu sekilas tentang Blue Ocean Strategy. Blue Ocean strategy adalah metode yang diperkenalkan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, yaitu sebuah metode tentang pengembangan ruang pasar yang tidak dapat ditentang atau dilawan sehingga membuat persaingan menjadi tidak relevan.

Blue Ocean Strategy merupakan lawan dari Red Ocean Strategy, yaitu persaingan yang dilakukan secara terang-terangan di pasar sehingga persaingan begitu kentara di pasar. Saling menjatuhkan, merebut konsumen dari pesaing dan melakukan persaingan secara terbuka.

Berikut adalah karakteristik dari Red Ocean Strategy dengan Blue Ocean Srategy menurut W. Chan Kim dan Reene Mauborgne :

Red Ocean Strategy :
  • Berkompetisi di ruang pasar yang sudah ada
  • Berusaha menjadi pemenang dalam kompetisi (saling mengalahkan)
  • Eksploitasi permintaan yang sudah ada (existing demand)
  • Menggabungkan keseluruhan system dari aktivitas perusahaan dengan pilihan strategic dari diferensiasi atau biaya yang rendah. (memilih salah satu)
Blue Ocean Strategy :
  • Menciptakan ruang pasar yang tidak dapat dilawan
  • Membuat kompetisi/persaingan menjadi tidak relevan
  • Menciptakan dan menangkap permintaan baru (new demand)
  • Break the value/cost-trade off
  • Menggabungkan keseluruhan system dari aktivitas perusahaan dalam tuntutan diferensiasi dan biaya yang rendah.
Berikut dua cara untuk menciptakan Blue Oceans :
  • Untuk meluncurkan industry baru secara keseluruhan
  • Akan menjadi hal yang umum bagi blue oceans untuk diciptakan di dalam red ocean ketika sebuah perusahaan mengembangkan batasan-batasan dari industry yang sudah eksisting.
Nah, kalau begitu apa kaitannya dengan market driver? Sebuah perusahaan bisa menjadi market driver melalui startegi Blue Ocean, dimana ia mencipatakan sebuah ruang pasar baru dan permintaan baru. Dimana dengan meciptakan ruang pasar baru, ia seolah tidak punya pesaing lain sehingga tidak relevan dengan pesaing-pesaing di pasarnya.

Namun bukan berarti dengan menciptakan industry baru melalui Blue Ocean Strategy berarti kita menjadi pemenang di pasar, karena tetap saja kita harus bersaing dengan pesaing yang lain. Persaingan, biar bagaimanapun akan tetap diperlukan dan pasti hadir terutama di masa sekarang ini, dimana para konsumen sudah punya knowledge yang baik tentang pasar dan mereka sudah bisa memilih produk yang akan ia gunakan.

Selain itu, factor prefernsi konsumen juga harus diperhatikan, karena konsumen bisa memilih produk yang akan ia gunakan belum tentu dengan menciptakan industry baru, produk kita akan diterima oleh mereka. Jadi sisi konsumen juga harus diperhatikan, bukan saja dari sis preferensi tapi juga dari sisi habit, kebutuhan, keinginan dan ekspektasinya.

Bagaimanapun, untuk menciptakan industry baru diperlukan analisis dan persiapan yang tidak sedikit. Kalau dari contoh di atas persaingan antar band di industry music Indonesia, kita harus benar-benar menciptakan industry baru yang memang tidak ada relevansi dengan industry music, tapi bukan berarti kita menciptakan produk baru yang tidak relevan, misalnya berjualan makanan di pasar music, sedangkan kosumennya adalah pecinta music. Menurut saya tetap saja kita menciptakan sesuatu yang ada hubungannya, tapi dibuat seolah-olah tidak berhubungan. Misalnya menciptakan produk makanan yang nama-namanya terinspirasi dari band-band yang ada di industry music. Kedengarannya lucu memang, tapi jika kita punya target market yang sesuai , misalnya penggemar band yang fanatic, maka peluang itu masih bisa terbentuk.

Kesimpulannya, sebuah strategi tidak bisa kita terima mentah-mentah dan kita adaptasi begitu saja tanpa ada analisis yang mendalam dan menyeluruh. Salah-salah kita malah jadi terjerumus, mau untung malah buntung karena salah strategi.

Teori boleh bagus dan perfect, tapi jangan lupakan kondisi lapangan yang bisa membuat semua teori seolah tidak berlaku. Jadi selalu compare antara teori dengan fakta yang ada sehingga kita bisa menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan kondisi lapangan.